OPINI, Klik Times – Di tengah arus informasi yang begitu deras di era digital, anak-anak dan remaja kini lebih cepat dan lebih sering terpapar pada berita mengenai konflik perang dan kekerasan dari berbagai belahan dunia. Baik melalui media sosial, berita daring, video pendek hingga permainan digital, narasi tentang kekerasan kerap muncul tanpa filter yang memadai.
Dalam kondisi ini, orang tua, pendidik dan masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk menjelaskan konflik tersebut dengan bijak agar anak tidak terjerumus dalam trauma, apatisme atau bahkan glorifikasi kekerasan.
Era digital menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia memudahkan akses informasi dan edukasi tentang sejarah serta realitas global. Namun di sisi lain, informasi yang tidak terkurasi juga menyebarkan disinformasi, propaganda dan narasi kekerasan yang tidak ramah anak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak anak melihat gambar korban perang, ledakan hingga ujaran kebencian tanpa pengantar yang tepat. Ini berpotensi membentuk persepsi keliru: bahwa kekerasan adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan konflik.
Strategi yang Edukatif dan Empatik yang harus dilakukan di antaranya adalah mengajari untuk menggunakan Bahasa yang Sesuai Usia dan Emosi Anak. Hal ini penting bagi orang tua dan pendidik untuk menyesuaikan penjelasan sesuai usia anak. Gunakan bahasa yang sederhana, tidak sensasional, namun jujur. Fokuskan narasi pada nilai kemanusiaan misalnya bagaimana perang menyebabkan penderitaan dan pentingnya perdamaian.
Selanjutnya ajak anak untuk fokus pada empati, Bukan Kekerasan. Karena, alih-alih menjelaskan siapa musuh dan siapa yang salah, lebih baik menekankan akibat perang terhadap manusia: anak-anak kehilangan rumah, keluarga terpisah dan pendidikan terganggu. Ini menumbuhkan empati bukan permusuhan.
Cara selanjutnya
Jelaskan bahwa konflik merupakan bagian dari sejarah manusia, tetapi ada banyak contoh resolusi damai. Tunjukkan tokoh-tokoh dunia yang menyelesaikan konflik dengan jalan damai, seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi atau tokoh lokal dengan semangat rekonsiliasi.
Yang tidak kalah penting adalah anak-anak perlu ruang untuk bertanya dan mengungkapkan perasaannya. Buka ruang diskusi dua arah, dan ajak mereka berpikir kritis: “Mengapa konflik bisa terjadi?” dan “Apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda?”
Begitupun kita juga harus mengajak mereka untuk memanfaatkan video animasi, buku cerita bergambar, atau film dokumenter ringan yang mengajarkan nilai damai dan kemanusiaan. Banyak konten digital yang dapat digunakan sebagai sarana edukasi, bukan sekadar hiburan atau propaganda.
Karenanya, Orang tua harus aktif memantau konten yang dikonsumsi anak. Gunakan fitur parental control, ikuti akun edukatif, dan batasi waktu layar jika perlu. Yang terpenting, dampingi anak saat mereka menyaksikan atau membaca berita tentang konflik.
Tujuan utama dari penjelasan konflik bukanlah agar anak tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan agar mereka memahami bahwa kekerasan meninggalkan luka yang dalam, dan bahwa perdamaian adalah hasil perjuangan panjang dan mulia. Di era digital ini, anak-anak tidak bisa diisolasi dari realitas global, tapi mereka bisa dibekali literasi, empati, dan semangat kemanusiaan.
Dengan strategi komunikasi yang cerdas, edukatif, dan empatik, kita dapat membimbing generasi muda menjadi agen perdamaian, bukan korban atau pelaku dalam lingkar kekerasan. Edukasi sejak dini adalah benteng terbaik dalam menghadapi dunia yang terus berubah termasuk ketika dunia sedang dirundung konflik.
***
**) Opini Ditulis oleh Abdul Warits, Sekretaris Duta Damai Santri Jatim.
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.