SUMENEP – Penanganan kasus pencurian sepeda motor Yamaha N-Max di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tengah menjadi sorotan panas publik.
Nama Rama, yang disebut sebagai dalang utama pencurian, kini disorot tajam karena statusnya yang tidak jelas diklaim sebagai DPO, namun tidak pernah muncul dalam sistem resmi atau dokumen hukum yang terbuka untuk publik.
Kritik tajam diarahkan kepada Unit Pidana Umum (Pidum) Satreskrim Polres Sumenep, yang dianggap gagal menunjukkan transparansi dalam menangani kasus ini. Pasalnya, hingga kini, nama Rama tidak tercantum dalam berkas perkara yang terdaftar di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) milik Pengadilan Negeri Sumenep.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kanit Pidum Polres Sumenep, Aiptu Asmuni, dalam keterangannya, Rabu (30/07/2025) tetap bersikukuh bahwa Rama telah berstatus DPO.
“Bukan lepas, Mas… tapi itu sudah terbit DPO,” ujar Asmuni.
Namun pernyataan tersebut justru mengundang pertanyaan lebih besar. Saat ditanya mengapa nama Rama tidak pernah dipublikasikan atau tercantum dalam berkas perkara, Asmuni berdalih tidak mengetahui detail karena kasus itu terjadi sebelum ia menjabat.
Anehnya, catatan SIPP Pengadilan Negeri Sumenep menunjukkan bahwa perkara ini—dengan nomor 106/Pid.B/2025/PN Smp—telah masuk sejak 25 Juni 2025, ketika Asmuni sudah menjabat sebagai Kanit Pidum. Kontradiksi ini memperkuat dugaan adanya upaya pengaburan fakta hukum yang kini ramai dipertanyakan publik.
Kedua terdakwa yang sudah duduk di kursi pesakitan yakni Aminullah bin Mat Dilah dan Baini bin Jalal secara konsisten sejak tahap penyidikan hingga persidangan menyebut nama Rama sebagai sosok yang memberi perintah.
“Saya sudah sampaikan sejak awal kepada penyidik bahwa saya diperintah Rama. Saya kaget kenapa namanya tidak muncul dalam dakwaan,” ucap salah satu terdakwa dari balik Lapas Sumenep.
Keduanya mengaku terpaksa melakukan pencurian karena tekanan hubungan personal dengan Rama. Lebih mencengangkan lagi, mereka mendengar kabar bahwa Rama menyetor puluhan juta rupiah kepada oknum tertentu demi “mengondisikan” kasus ini agar ia lepas dari jerat hukum.
Dugaan Suap dan Manipulasi Kasus, Publik Geram
Isu dugaan praktik suap dan intervensi kasus inilah yang kini membakar kemarahan masyarakat. Publik mempertanyakan mengapa nama Rama tidak dimasukkan dalam dakwaan, padahal keterangan terdakwa menyebutnya jelas sebagai aktor utama. Ketiadaan nama Rama dalam sistem dan tidak adanya rilis resmi DPO membuat banyak pihak menduga bahwa status DPO Rama hanyalah formalitas belaka DPO fiktif yang dibuat untuk menenangkan publik.
“Kalau memang Rama benar DPO, kenapa tidak diumumkan secara terbuka? Kenapa tidak muncul di berkas resmi? Jangan-jangan ini hanya akal-akalan agar pelaku utama lolos,” ujar seorang tokoh masyarakat Sumenep yang enggan disebut namanya.
Kendati demikian, desakan publik kini mengarah kepada Polda Jawa Timur untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan perkara ini di Polres Sumenep. Sejumlah aktivis hukum dan pegiat antikorupsi menilai ada indikasi kuat bahwa hukum sedang dimainkan oleh kekuatan uang dan jaringan kekuasaan.
“Jika benar ada intervensi atau perlindungan terhadap pelaku utama, maka ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi pengkhianatan terhadap keadilan. Aparat penegak hukum digaji dari uang rakyat. Mereka wajib berpihak pada kebenaran, bukan pada uang,” tegas seorang aktivis hukum lokal.
Kasus ini menjadi ujian integritas serius bagi Polri khususnya dalam menjawab tantangan kepercayaan publik yang semakin tergerus. Skandal Rama bisa menjadi titik balik: apakah hukum akan tegak meski menyentuh nama besar atau justru runtuh oleh kekuasaan dan uang.