Rokok New Humer: Si Pendatang Haram yang Kini Nyaris Jadi Warga Tetap di Sumenep
- account_circle M. Faizi
- calendar_month Jum, 20 Jun 2025
- visibility 83

M. Faizi, Pimred Klik Times .
OPINI, KLIKTIMES – Kalau orang menyebut Sumenep sebagai Bumi Sumekar karena keharumannya dalam seni, budaya dan ketenangan hidup pesantren, kini istilah itu seolah mendapat tafsir baru. Harum, betul. Tapi harum karena asap. Asap rokok ilegal. Dan kini, ada satu nama baru yang ikut meramaikan daftar panjang itu: Rokok New Humer.
Ya, rokok tanpa pita cukai itu kini beredar seperti selebaran kampanye: bebas, tanpa kontrol dan dijual di mana-mana. Kami menyusuri beberapa toko kelontong di pelosok kecamatan di Sumenep. Hasilnya tak sulit menemukan New Humer seperti mencari garam di laut, sangat mudah.
Bayangkan saja: rokok tanpa pita cukai yang secara hukum bisa dikategorikan haram administratif, namun bisa dibeli bebas. Seperti imigran gelap yang sudah lama tinggal di negeri orang tapi belum juga dideportasi. Tidak diurus bahkan seolah diberi karpet merah.
Tak cuma itu. Informasi yang kami himpun menyebutkan bahwa New Humer bukan produk lokal Sumenep. Ia dikabarkan datang dari “kota tetangga” yang punya label religius: Gerbang Salam. Artinya, Humer ini “mudik” ke Sumenep. Ia datang dan kini nyaris jadi warga tetap. Bebas masuk pasar. Bebas masuk toko. Bebas masuk paru-paru rakyat kecil.

Rokok Humer.
Dan kalau informasi itu benar bahwa New Humer diproduksi di wilayah kota santri yang diduga dikendalikan oleh “sultan bisnis rokok”, maka kita bisa membayangkan bagaimana tata niaga gelap ini bekerja terstruktur, sistematis dan nyaris legal dalam praktik meski ilegal di atas kertas.
Pertanyaan besarnya: di mana Bea Cukai Madura?
Apakah kantor itu benar-benar bekerja untuk negara atau justru sudah lelah melawan arus dan kini memilih diam di tepian sambil menonton parade rokok ilegal lewat tiap hari?
Padahal secara geografis, kantor Bea Cukai se-Madura itu bukan berada di jantung industri. Ia justru terletak di jalur tengah. Tepatnya, urutan kedua jika Anda melaju dari timur: Sumenep, lalu Pamekasan baru kemudian Sampang dan Bangkalan. Artinya, secara strategis, ia seharusnya bisa mencium aroma pelanggaran dari arah mana pun. Timur pun ya bisa, barat pun iya.
Tapi anehnya, justru dari arah timur itu, Sumenep dan sekitarnya, rokok tanpa cukai terus tumbuh subur, Ilegal secara dokumen tapi legal di warung-warung.
Dugaan saya, jangan-jangan, ini hanya kemungkinan aparat kita sudah lelah berkata “tidak”. Seperti Sun Tzu dalam babak kedua, mereka tak lagi bertarung secara terang-terangan tapi ikut bermain dalam medan perang yang dikendalikan para taipan rokok tanpa cukai.
Lihat saja pola peredarannya. Tak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan para penjual tak merasa takut jika ditanya tentang asal barang. “Sudah biasa, Mas,” kata seorang pemilik warung di selatan kota. “Banyak yang nyari New Humer sekarang.”
Humer, dalam hal ini bukan hanya merek. Tapi simbol. Simbol tentang bagaimana regulasi bisa dilipat. Bagaimana negara bisa dikalahkan. Dan bagaimana hukum bisa tunduk pada kepentingan ekonomi segelintir orang.
Dan ironinya, jika semua ini terus dibiarkan, kita mungkin harus bersiap: Sumenep tak lagi hanya dikenal sebagai kota keris tapi juga kota tanpa cukai. Sebuah ironi di tengah seruan “Indonesia Emas 2045”.
Teriring demikian, menegaskan kembali penuturan informan kami bahwa jika benar merek rokok Humer ini bersumber dari kota Gerbang Salam, maka ini sungguh menggelikan.
Karena begini, kalau kita analogikan dalam logika dakwah Nabi, maka setiap perubahan harus dimulai dari diri sendiri “Ibda’ binafsik”, tapi merek rokok Humer ini persebarannya malah menyebar dari “rumah sendiri”.
Konteks kita dalam catatan ini berbicara soal rokok ilegal. Bukan hanya sekadar soal rokok tapi soal regulasi yang dipelintir, pengawasan yang bolong dan logika negara yang kabur.
Tak heran kalau kemudian banyak yang berseloroh, “Bea Cukai sekarang di bawah ketiak pengusaha.” Ini bukan sekadar idiom, Ini diksi yang penuh tafsir. Bisa berarti tunduk. Bisa berarti terdapat orang dalam (Ordal: kata Anies Baswedan). Bisa pula berarti pura-pura tak tahu atau memang benar-benar tidak tahu?
Tapi saya pribadi, sebagai warga yang masih punya harapan, haqqul yakin: Bea Cukai tahu. Mereka tidak buta. Mereka tidak tuli. Hanya saja, mungkin… terlalu lama tertidur dalam selimut keadaan. Tertidur hingga lupa bahwa pekerjaan mereka adalah berjaga. Kalian masih belum percaya?
Coba buka jejak digital. Ketik saja “Rokok New Humer”. Maka Anda akan menemukan bahwa merek ini pernah tertangkap. Bukan di Sumenep. Bukan di Madura. Tapi di wilayah strategis lintas Jawa-Sumatera.
Dilansir dari tayangan Media Pos Kota Sabtu (9/11)2024), sebanyak 144 ribu bungkus rokok Humer disita dari truk boks bernopol E 9163 HG diamankan oleh tim gabungan Subdit Indag Ditreskrimsus Polda Banten dan Bea Cukai Merak. Artinya, mereka bisa. Artinya, instrumen pengawasan itu ada. Dan artinya: kalau mau, pasti bisa. Lalu mengapa di Madura bisa lolos, Mengapa di Sumenep bisa bebas, Apakah karena terlalu dekat hingga tak terlihat atau justru terlalu jauh hingga tak terjangkau atau jangan-jangan… karena yang terlibat terlalu besar?
Mungkin sudah waktunya kita berhenti bersikap naif. Negara tidak boleh kalah oleh segelintir pemain. Dan Bea Cukai sebagai lembaga negara tak boleh terus menerus dianggap sebagai penonton dalam sirkus dagang ilegal.
Sumenep layak mendapatkan udara bersih.
Bukan asap bisnis yang kabur status.
Dan kini, kami hanya menengadahkan harap. Mungkinkah Bea Cukai Madura perkasa dalam menjalankan fungsi regulasi sesuai khittahnya atau bagaimana?
Wallahu A’lam, Kita tunggu saja i’tikad baiknya. Masyarakat percaya sepenuhnya.
- Penulis: M. Faizi