OPINI | KLIKTIMES.ID – Pernyataan anggota DPRD Jawa Timur, Nur Faizin, baru-baru ini ramai di panggung Media Sosial. Dengan lantang, ia menyoroti maraknya rokok ilegal di Madura. Katanya, negara rugi, pasar kacau, persaingan usaha tak sehat.
Sekilas, apa yang ia sampaikan memang terdengar masuk akal. Negara kehilangan triliunan rupiah, Pasar terserobot, Pengusaha legal merasa didzolimi. Namun, mari kita pelankan sejenak. Benarkah persoalannya sesederhana itu?
Sebab, tidak adil rasanya jika langsung menunjuk hidung rakyat Madura sebagai biang kerok. Apalagi, dengan mudah mengaitkan fenomena ini dengan istilah “wibawa negara”. Kata itu memang gagah di telinga. Tetapi di Madura, wibawa bukanlah ditentukan oleh cukai. Wibawa justru terlihat dari bagaimana pemerintah memperlakukan rakyatnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di titik ini, saya teringat ucapan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Beliau pernah mengatakan, pemerintah sering seperti orang tua yang hobi marah-marah pada anaknya tanpa pernah mau mendengar alasan kenapa si anak berbuat nakal. Begitu pula dengan rokok ilegal: pemerintah sibuk mengejar tapi jarang benar-benar mendengar.
Padahal, kalau kita melihat lebih dalam, Madura punya sejarah panjang soal tembakau. Dari ladang kecil yang diwariskan turun-temurun hingga gudang besar yang menyimpan daun emas kering. Dari obrolan di warung kopi sampai lintingan di dapur-dapur rumah.
Maka, ketika kini muncul istilah “rokok ilegal”, jangan buru-buru menyebutnya sekadar pelanggaran hukum. Ada ekosistem ekonomi rakyat yang hidup di dalamnya.
Ambil contoh sederhana dari petani tembakau di Sumenep atau Pamekasan. Mereka akan bercerita panjang soal harga tembakau yang sering jatuh. Tentang pabrik besar yang enggan membeli atau kalau pun membeli, hasil panen mereka kerap dianggap “kelas dua”. Di situlah pabrikan rumahan yang sering dicap ilegal hadir memberi harapan. Mereka menampung tembakau rakyat. Lalu, apakah itu serta-merta salah?
Tentu, saya bukan sedang membela rokok ilegal. Tapi mari menimbang lebih jernih. Ekonom Faisal Basri pernah mengingatkan, pungutan yang terlalu tinggi justru sering melahirkan pasar gelap. Logikanya sederhana: semakin tinggi cukai, semakin besar pula celah untuk mencari jalan tikus. Maka, kalau tarif cukai terus naik tanpa memperhitungkan daya beli dan kondisi ekonomi lokal, jangan kaget bila “rokok ilegal” justru tumbuh subur.
Dalam konteks ini, Nur Faizin memang tidak sepenuhnya salah. Integritas aparat memang penting. Tapi integritas tanpa empati bisa berubah menjadi represi. Penegakan hukum boleh saja dijalankan, tapi yang justru tertekan adalah rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada industri kretek rumahan.
Di sinilah muncul ironi: hukum yang kaku sering kalah oleh perut yang lapar.
Maka, sah-sah saja DPRD menggunakan retorika “wibawa negara”. Namun, yang perlu dibenahi bukan sekadar pengawasan. Lebih mendasar dari itu adalah pola pikir negara terhadap industri rokok rakyat. Industri ini jangan hanya dipandang sebagai potensi cukai, melainkan juga sebagai denyut nadi ekonomi desa.
Kalau hal ini diabaikan, maka pernyataan soal “wibawa negara” hanya akan terdengar kosong. Ia sekadar bergema seperti pepatah Madura: “Ajhâ’ ngoca’ ban polana, tape’ benna’ dhiri se entar ka’ omba’.” Artinya, jangan suka berkoar, tapi akhirnya sendiri yang hanyut terbawa arus.
Maka, jikalau politisi PKB ini terlampau bulat keputusannya untuk meninabobokkan “rokok ilegal” di wilayah Madura, saya tantang sekalian untuk bersuara lantang dan keras – jangan sampai klimaksnya justru lentur berbalut dusta. Saya tunggu keperkasaan dan gebrakan Mas Nur Faizin di part selanjutnya. Salam.
***
**) Opini Ditulis oleh M. Faizi, Petani sekaligus Pegiat Media
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.