OPINI, Klik Times – Pernyataan Ketua Mabinas PB PMII, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat pelantikan PB IKA PMII yang menyebut bahwa “ yang tumbuh dari bawah adalah PMII bukan HMI” kembali membuka diskursus tentang karakter organisasi kemahasiswaan Islam di Indonesia.
Ungkapan tersebut, meski bermuatan historis dan identitas, perlu dibaca ulang dalam konteks kekinian yang telah jauh bergeser dari garis sejarah masa lalu.
Secara historis, memang benar bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir dari rahim Nahdlatul Ulama dan berakar kuat dalam kultur pesantren serta tradisi keislaman yang membumi di desa-desa.
Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir lebih awal, dibentuk oleh semangat pembaruan Islam yang terhubung erat dengan dinamika intelektual dan politik nasional pasca-kemerdekaan.
Namun demikian, membandingkan keduanya secara dikotomis “bawah vs atas”, “desa vs kota”, atau “pesantren vs kampus besar”, terkesan menyederhanakan realitas kompleks gerakan mahasiswa di Indonesia masa kini.
Dalam dua dekade terakhir, batas antara desa dan kota, antara “bawah” dan “atas” semakin kabur. Akses terhadap pendidikan tinggi, teknologi informasi dan jaringan organisasi telah membuka peluang kaderisasi bagi semua organisasi mahasiswa termasuk PMII dan HMI tanpa dibatasi oleh latar geografis atau sosial tertentu.
PMII yang dulu dominan di kawasan berbasis pesantren kini telah hadir aktif di berbagai kampus ternama perkotaan. Sementara HMI, yang dikenal kuat dalam tradisi intelektual urban juga telah membangun cabang dan komisariat di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan.
Dengan demikian, mendikotomikan kedua organisasi dalam kerangka “yang tumbuh dari bawah” cenderung mengabaikan proses adaptasi dan transformasi yang telah mereka jalani. Yang tumbuh dari bawah bisa jadi justru berkembang di atas karena konsistensi gerak bukan semata karena titik awalnya.
Klaim “tumbuh dari bawah” memang memiliki daya tarik emosional dan simbolik terutama bagi organisasi yang berupaya menegaskan kedekatannya dengan masyarakat kecil. Namun, bila tidak disertai kerja nyata dan pencapaian konkret, klaim tersebut rawan menjadi romantisasi sejarah.
Romantisisme seperti ini dapat menimbulkan eksklusivitas baru: seolah hanya organisasi tertentu yang berhak menyuarakan kepentingan rakyat kecil, sementara yang lain dianggap elitis. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa baik PMII maupun HMI sama-sama memiliki kader yang berjuang membela rakyat kecil baik melalui advokasi, pendidikan maupun kebijakan publik.
Identitas “dari bawah” bukanlah jaminan akan keberpihakan. Begitu pula sebaliknya, asal-usul “dari atas” bukan berarti abai terhadap rakyat. Yang menentukan adalah konsistensi gerakan, integritas kader dan kontribusi terhadap penyelesaian masalah riil masyarakat.
Tantangan bangsa hari ini bersifat multidimensi: krisis iklim, disrupsi teknologi, ketimpangan ekonomi hingga intoleransi sosial. Persoalan-persoalan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan klaim historis melainkan butuh kolaborasi dan sinergi lintas organisasi.
PMII dengan jaringan akar rumput dan semangat kulturalnya serta HMI dengan kekuatan intelektual dan jejaknya dalam kebijakan publik, seharusnya saling melengkapi bukan saling mendefinisikan secara eksklusif.
Memang, dalam keragaman identitas, ada nilai yang layak dirawat. Namun nilai itu harus dijaga agar tidak menjadi alat klaim superioritas. Perbedaan bukan untuk dikultuskan melainkan dijadikan kekuatan untuk kerja bersama.
Akhirnya, pertanyaan mendasar yang lebih relevan adalah: apa kontribusi nyata organisasi mahasiswa Islam dalam menjawab tantangan bangsa hari ini? Bukan lagi soal dari mana ia tumbuh melainkan untuk apa ia bekerja.
Dalam dunia yang terus berubah, label “bawah” atau “atas” hanya akan bermakna bila diisi dengan kerja-kerja nyata yang berdampak. Indonesia membutuhkan semua energi baik yang datang dari pesantren maupun kampus, dari desa maupun kota, dari PMII maupun HMI untuk bergerak bersama membangun bangsa.
Yang penting bukan dari mana kita berasal tapi ke mana kita melangkah bersama.
***
**) Opini Ditulis oleh Sahid Badri, Pengurus HMI Cabang Sumenep.
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.