Menelusuri Jejak Pita Cukai di Sumenep: Antara Kepatuhan dan Kelicikan yang Nyaris Jadi Pilihan Wajib
- account_circle M. Faizi
- calendar_month Kam, 19 Jun 2025
- visibility 62

M. Faizi (Foto:Istimewa).
OPINI, Klik Times – Dalam beberapa hari ini saya agak sedikit aktif menulis tentang pita cukai. Bukan karena saya hobi bicara soal rokok, sama sekali bukan. Tapi karena di balik selembar stiker kecil itu, saya melihat sesuatu yang lebih besar. Lebih berbahaya. Lebih diam-diam.
Sebuah permainan yang halus tapi menghantam. Nyaris tak terlihat tapi dampaknya bisa mengalir sampai ke pasar, sampai ke petani tembakau bahkan sampai ke rakyat kecil yang tak pernah tahu menahu soal cukai.
Saya menyebutnya akal-akalan kelas tinggi. Karena hal Ini tidak lagi berbicara soal pelanggaran administratif, bukan pula sekadar urusan legal atau ilegal. Ini adalah bagaimana sistem yang seharusnya menjaga justru bisa disulap menjadi celah.
Saya jadi teringat Sun Tzu, ahli strategi perang dari Tiongkok ribuan tahun silam. Kalimatnya masih relevan sampai hari ini. Kira-kira begini bunyinya: “All warfare is based on deception.” (Segala bentuk peperangan dibangun atas tipu daya).
Dan kalau kita lihat lebih dalam, perang pita cukai juga tak jauh beda. Tidak ada dentuman senjata. Tidak ada pasukan bersenjata. Tapi medan tempurnya jelas: distribusi. Korbannya nyata: negara. Dan pelan-pelan, rakyat pun jadi tumbal tanpa pernah diajak bicara.
Ini perang senyap. Tidak diumumkan. Tidak disiarkan. Tapi berlangsung terus-menerus. Dari gudang-gudang yang tersembunyi. Dari jalur distribusi yang dimanipulasi. Dari pita-pita kecil yang bisa mengaburkan status: ini legal atau ilegal?
Permainannya rapi. Pemainnya paham betul kapan muncul, kapan menghilang. Mereka bisa membuat pita cukai terlihat legal padahal palsu (SKT/SKM) . Atau sebaliknya, barangnya legal tapi pitanya dilepas, diganti, diselundupkan. Hasil akhirnya: rokok itu beredar dan seolah tak pernah salah.
Ini permainan dua kaki. Satu kaki menginjak sisi legalitas, izin lengkap, perusahaan berdiri, produksi jalan. Kaki lainnya ada di ruang gelap, diduga menjual ke seberang yang terlampau jauh dari hingar bingar.
Dan publik? Seperti biasa: telat tahu. Atau mungkin: pura-pura tidak tahu.
Yang paling menderita adalah mereka yang memilih jalan benar. Para pelaku industri kecil yang taat. Yang membayar pajak. Yang menjaga jalur distribusi. Tapi justru tersisih karena tak sanggup bersaing harga. Bagaimana bisa bersaing, kalau yang satu membayar cukai, dan yang satu lagi tidak?
Yang taat pelan-pelan mati. Yang curang tumbuh seperti jamur di musim hujan.
kendati demikian, beberapa hari terakhir ini, saya memperhatikan dengan saksama. Media mulai hangat menyoroti soal pabrikan rokok yang diduga bermain-main dengan pita cukai. Tapi sayangnya, panasnya belum benar-benar merata – sebatas permukaan dan masih setengah hati.
Padahal jejaknya sudah begitu jelas. Polanya berulang. Dan sayangnya, Sumenep , Kabupaten di ujung timur Pulau Madura makin hari makin pantas disebut sebagai “surganya ternak pita cukai.”
Istilah “ternak” ini mungkin terdengar kasar. Tapi kalau Anda menyusuri pabrikan di Kecamatan Guluk-Guluk, Ganding dan Lenteng, istilah itu jadi terasa sangat masuk akal.
Di tiga kecamatan itu, pita cukai bisa “dibesarkan” layaknya hewan peliharaan: dipelihara, disebar lalu dipanen keuntungannya. Dan semua ini terus berlangsung. Lama. Senyap. Licin.
Kalau praktik ini terus dibiarkan, kita sebagai rakyat biasa bukan hanya ditelanjangi secara moral. Kita kehilangan hal yang jauh lebih mahal: kepercayaan publik. Hilang wibawa aparat penegak hukum. Hilang akal sehat kita sebagai bangsa. Dan yang paling menyakitkan: hilangnya rasa keadilan.
Itulah sebabnya saya menulis ini terus. Saya ulang-ulang. Biar terang. Biar tak cuma jadi cerita warung kopi. Di balik selembar pita cukai, ada permainan besar yang tak main-main. Ada uang besar. Ada nama-nama besar. Dan ada rakyat yang diam-diam dilucuti haknya—perlahan tapi pasti.
Kalau negara tidak segera hadir, saya khawatir yang akan datang lebih dulu adalah kekecewaan.Dan kita tahu, dalam sejarah bangsa manapun: kekecewaan rakyat tidak pernah selesai dengan damai. Salam.
***
**) Opini Ditulis oleh M. Faizi
**) Tulisan artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.
- Penulis: M. Faizi