OPINI | KLIKTIMES.ID – Hari ini, 31 Oktober 2025, Kabupaten Sumenep memperingati Hari Jadi ke-756 dengan tema “Ngopene Songennep”. Seharusnya, momentum ini bukan sekadar ritual seremonial tetapi menjadi ruang refleksi kritis atas kualitas kepemimpinan dan pelayanan publik yang nyata, bukan sekadar jargon yang menawan di panggung media sosial.
Fokus tulisan ini bukan pada kemolekan pakaian adat atau rangkaian ritual budaya, melainkan pada relevansi tagline “Bismillah Melayani” yang digaungkan Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo. Pertanyaannya sederhana: apakah kalimat itu tercermin dalam tindakan nyata atau sekadar mantra citra publik?
Sejarah Sumenep tak bisa dilepaskan dari warisan Arya Wiraraja, adipati pertama yang dilantik pada 31 Oktober 1269. Nilai kejujuran, gotong royong dan kepemimpinan berkeadilan seharusnya menjadi landasan moral yang menuntun setiap kepala daerah.
Dalam perspektif Machiavelli, pemimpin yang bijak harus menyeimbangkan citra dengan praktik nyata; ia harus dicintai dan dihormati, hadir di tengah rakyat bukan menjauh ketika aspirasi mengalir deras.
Namun, pengalaman empiris menunjukkan ironi yang mencolok. Sepanjang sejarah kepemimpinan Bupati Fauzi di Sumenep, hampir setiap gelombang aspirasi dari kaum aktivis menemui hambatan tak kasat mata: birokrasi yang diam, ruang dialog yang tertutup dan ketidakhadiran figur pemimpin di titik kritis pergerakan publik.
Satu dari sekian banyak contoh, hari ini warga Kepulauan Kangean kembali gelar penolakan ihwal survei seismik 3D dan kegiatan eksplorasi migas di wilayah perairan barat, namun kehadiran pemimpin dari deretan gelaran aksi kaum aktivis untuk berdialog langsung nyaris tak terlihat.
Bupati Sumenep, dalam banyak kesempatan, terlihat enggan menghadapi kritik atau tuntutan rakyat secara langsung. Dari demonstrasi menuntut keadilan lingkungan hingga aksi menyoroti persoalan sosial, batang hidung pemimpin nyaris tak pernah tampak. Ketika jargon “Bismillah Melayani” disandingkan dengan praktik ini, pertanyaan tentang profesionalisme dan komitmen terhadap publik tidak bisa lagi diabaikan.
Kontras dengan pola ini, Bupati Pamekasan KH. Kholilurrahman menunjukkan sikap yang berbeda: terbuka, hadir dan siap mendengar. Ia kerap menemui kaum aktivis di tengah aksi, membangun dialog dan mereduksi jarak antara birokrasi dan rakyat.
Sikap ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar mengumbar slogan, melainkan praktik nyata yang menumbuhkan kepercayaan, legitimasi moral dan rasa memiliki publik terhadap pemerintah.
Machiavelli menegaskan, “Seorang pemimpin harus tampak bijaksana dan adil, namun ia tidak boleh menjauh dari rakyatnya.” Dalam konteks ini, Sumenep menghadapi tantangan serius bagaimana memadukan simbol sejarah, tagline ambisius dan pelayanan publik yang autentik? Kepemimpinan yang hanya hadir di spanduk dan tema harjad tanpa kehadiran fisik dan moral di titik aspirasi publik adalah kepemimpinan yang rapuh, meski secara formal sah.
Sejarah dan pengalaman menunjukkan bahwa legitimasi formal tanpa legitimasi moral adalah kehampaan. Kaum aktivis, masyarakat dan publik luas menjadi cermin yang menuntut pemimpin hadir, mendengar dan menanggapi bukan menghindar atau menutup diri di balik jargon dan protokoler.
Perbedaan nyata antara Sumenep dan Pamekasan mengingatkan satu hal: efektivitas pemerintahan diukur dari kemampuan pemimpin untuk hadir berinteraksi dan merespons aspirasi rakyatnya bukan sekadar dari retorika yang terdengar indah di ruang resmi.
Kepemimpinan yang otentik adalah yang mampu menjadikan suara rakyat sebagai bagian dari tata kelola bukan sekadar riuh di luar gerbang kantor. Sumenep, dengan sejarah yang kaya dan tagline yang menawan, masih memiliki jalan panjang untuk membuktikan bahwa “Bismillah Melayani” bukan hanya retorika tetapi komitmen nyata yang menembus birokrasi dan menyentuh rakyat.
Akhiron, kepemimpinan bukan soal spanduk atau jargon yang terdengar manis tetapi tentang keberanian hadir di tengah aspirasi rakyat, mendengar dan menindaklanjuti. Jika “Bismillah Melayani” hanyalah kata tanpa aksi, maka sejarah dan rakyat akan menilainya dengan ketegasan yang tak bisa diabaikan.
Sumenep harus memilih tetap nyaman di balik protokoler dan retorika atau benar-benar menjemput mandat moral yang diwariskan Arya Wiraraja menjadi pemimpin yang hidup di hati rakyat bukan sekadar di kalender harjad.
Selamat Hari Jadi Kabupaten Sumenep Ke-756.
*) M. Faizi, Pegiat Media sekaligus anggota Majelis Pemuda Revolusi (MPR) Madura Raya.












