OPINI, Klik Times – Ngalap barokah bukanlah fenomena baru yang sekadar viral di kalangan pesantren. Ia adalah ruh pendidikan akhlak yang telah lama hidup dan diwariskan turun-temurun dalam tradisi santri. Bukan sekadar aktivitas simbolik tetapi sebuah bentuk adab yang mengakar kuat dalam jiwa para penuntut ilmu.
Di pondok pesantren, para santri diberi pemahaman dan stimulus untuk menomorsatukan karakter. Salah satu puncaknya adalah bagaimana mereka memuliakan guru dari asatidz hingga kiai melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna termasuk menata sandal.
Sekilas, menata sandal mungkin terlihat sepele. Namun dalam perspektif pesantren, hal tersebut merupakan salah satu bentuk ngalap barokah yang penuh hikmah. Bukan hanya cerita rekaan, bukan pula tabayyun tanpa dasar. Tradisi ini memiliki jejak nyata dalam sejarah dua tokoh besar bangsa yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Keduanya yang kelak mendirikan dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah pernah berebut untuk menata sandal gurunya, KH. Sholeh Darat, saat beliau hendak menunaikan shalat berjamaah di masjid. Tujuan mereka jelas: mempermudah dan memuliakan sang guru.
Dari cerita tersebut, kita belajar bahwa menata sandal bukan sekadar adab tetapi bagian dari spiritualitas santri. Sandal, dalam pengertian sederhana, adalah alat bantu berjalan agar lebih mudah dan nyaman. Di Madura, masyarakat kerap menyebut sepeda motor sebagai “sandal” sebuah metafora unik yang menunjukkan kesamaan fungsi.
Maka, tidak heran jika tradisi menata dan mengarahkan motor kiai atau asatidz juga menjadi bagian dari bentuk ngalap barokah. Menata arah motor sang guru agar siap digunakan adalah bentuk pelayanan dengan niat mulia: memudahkan urusan orang yang dimuliakan karena ilmunya.
Lebih dari sekadar kebiasaan, tradisi ini memiliki pijakan ilmiah dari khazanah keilmuan Islam klasik. Dalam kitab Fawaid Al-Mukhtaroh karya Habib Ali Hasan Baharun disebutkan hikmah-hikmah dan faidah-faidah yang beliau terima dari gurunya, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ketika belajar di Madinah Al-Munawwarah.
Pada halaman 570, dijelaskan secara eksplisit tentang keutamaan mengambil barokah dengan menata sandal para ulama dan guru. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan sekadar budaya lokal tetapi telah menjadi bagian dari adab penuntut ilmu dalam tradisi Islam global.
Di pesantren, tindakan seperti menata sandal bukan tentang “menjilat” atau “cari muka”. Ini adalah bagian dari pendidikan ruhani yang membentuk kepekaan hati, kerendahan diri dan penghormatan terhadap ilmu serta para pembawanya.
Sebab, dalam pandangan para ulama salaf, ilmu tidak bisa masuk ke dalam hati yang sombong atau merasa tinggi dari gurunya. Maka, dari menata sandal, membersihkan kamar guru hingga sekadar menyiapkan kursi beliau, semuanya menjadi media untuk membersihkan hati dan memperluas wadah ilmu.
Ngalap barokah bukanlah mistifikasi. Ia adalah ekspresi cinta yang berakar dari keyakinan bahwa keberkahan ilmu bisa datang lewat wasilah adab. Maka jangan heran jika ada santri yang rela mengantre untuk sekadar mencium tangan gurunya, menata sandalnya atau menjaga sepatunya dari debu. Semua itu dilakukan dengan keyakinan bahwa adab adalah jembatan yang mengantarkan kepada ilmu dan ilmu adalah jalan menuju Allah.
***
**) Opini Ditulis oleh Adit Asrori
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.