Menata Sandal: Ngalap Barokah atau Sekadar Kebiasaan?

- Jurnalis

Senin, 28 Juli 2025 - 19:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seorang santri membalikkan sandal milik kiai sebagai bentuk penghormatan dan ngalap barokah di lingkungan pesantren. (Foto:Dit).

i

Seorang santri membalikkan sandal milik kiai sebagai bentuk penghormatan dan ngalap barokah di lingkungan pesantren. (Foto:Dit).

OPINI, Klik Times – Ngalap barokah bukanlah fenomena baru yang sekadar viral di kalangan pesantren. Ia adalah ruh pendidikan akhlak yang telah lama hidup dan diwariskan turun-temurun dalam tradisi santri. Bukan sekadar aktivitas simbolik tetapi sebuah bentuk adab yang mengakar kuat dalam jiwa para penuntut ilmu.

Di pondok pesantren, para santri diberi pemahaman dan stimulus untuk menomorsatukan karakter. Salah satu puncaknya adalah bagaimana mereka memuliakan guru dari asatidz hingga kiai melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna termasuk menata sandal.

Sekilas, menata sandal mungkin terlihat sepele. Namun dalam perspektif pesantren, hal tersebut merupakan salah satu bentuk ngalap barokah yang penuh hikmah. Bukan hanya cerita rekaan, bukan pula tabayyun tanpa dasar. Tradisi ini memiliki jejak nyata dalam sejarah dua tokoh besar bangsa yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keduanya yang kelak mendirikan dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah pernah berebut untuk menata sandal gurunya, KH. Sholeh Darat, saat beliau hendak menunaikan shalat berjamaah di masjid. Tujuan mereka jelas: mempermudah dan memuliakan sang guru.

Dari cerita tersebut, kita belajar bahwa menata sandal bukan sekadar adab tetapi bagian dari spiritualitas santri. Sandal, dalam pengertian sederhana, adalah alat bantu berjalan agar lebih mudah dan nyaman. Di Madura, masyarakat kerap menyebut sepeda motor sebagai “sandal” sebuah metafora unik yang menunjukkan kesamaan fungsi.

Maka, tidak heran jika tradisi menata dan mengarahkan motor kiai atau asatidz juga menjadi bagian dari bentuk ngalap barokah. Menata arah motor sang guru agar siap digunakan adalah bentuk pelayanan dengan niat mulia: memudahkan urusan orang yang dimuliakan karena ilmunya.

Lebih dari sekadar kebiasaan, tradisi ini memiliki pijakan ilmiah dari khazanah keilmuan Islam klasik. Dalam kitab Fawaid Al-Mukhtaroh karya Habib Ali Hasan Baharun disebutkan hikmah-hikmah dan faidah-faidah yang beliau terima dari gurunya, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith ketika belajar di Madinah Al-Munawwarah.

Pada halaman 570, dijelaskan secara eksplisit tentang keutamaan mengambil barokah dengan menata sandal para ulama dan guru. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut bukan sekadar budaya lokal tetapi telah menjadi bagian dari adab penuntut ilmu dalam tradisi Islam global.

Di pesantren, tindakan seperti menata sandal bukan tentang “menjilat” atau “cari muka”. Ini adalah bagian dari pendidikan ruhani yang membentuk kepekaan hati, kerendahan diri dan penghormatan terhadap ilmu serta para pembawanya.

Sebab, dalam pandangan para ulama salaf, ilmu tidak bisa masuk ke dalam hati yang sombong atau merasa tinggi dari gurunya. Maka, dari menata sandal, membersihkan kamar guru hingga sekadar menyiapkan kursi beliau, semuanya menjadi media untuk membersihkan hati dan memperluas wadah ilmu.

Ngalap barokah bukanlah mistifikasi. Ia adalah ekspresi cinta yang berakar dari keyakinan bahwa keberkahan ilmu bisa datang lewat wasilah adab. Maka jangan heran jika ada santri yang rela mengantre untuk sekadar mencium tangan gurunya, menata sandalnya atau menjaga sepatunya dari debu. Semua itu dilakukan dengan keyakinan bahwa adab adalah jembatan yang mengantarkan kepada ilmu dan ilmu adalah jalan menuju Allah.

***

**) Opini Ditulis oleh Adit Asrori

**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id

**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.

Follow WhatsApp Channel kliktimes.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Solidaritas yang Terkikis: Alarm Dini dari Paguyuban Rokok Sumenep
Paguyuban Rokok di Ujung Tanduk: Butuh Solidaritas, Bukan Sabotase
Refleksi Identitas PMII dan HMI: Menyikapi Klaim “Yang Tumbuh dari Bawah”
Harlah BNPT: Momentum Teguhkan kembali Tekad untuk Bersama Jaga Indonesia
Gedung yang Tak Tampak: Menapak Jejak PKBM Al-Masthuriyah dari Data ke Fakta
Strategi Menjelaskan Konflik Perang dan Kekerasan di Era Digital kepada Anak dan Remaja
Meneropong Rokatan Budaya Madura melalui Lensa Filsafat Islam: Kearifan Lokal dan Nilai-Nilai Islami
Kebenaran yang Tersisih

Berita Terkait

Selasa, 29 Juli 2025 - 07:54 WIB

Solidaritas yang Terkikis: Alarm Dini dari Paguyuban Rokok Sumenep

Senin, 28 Juli 2025 - 21:14 WIB

Paguyuban Rokok di Ujung Tanduk: Butuh Solidaritas, Bukan Sabotase

Senin, 28 Juli 2025 - 19:32 WIB

Menata Sandal: Ngalap Barokah atau Sekadar Kebiasaan?

Kamis, 17 Juli 2025 - 11:36 WIB

Refleksi Identitas PMII dan HMI: Menyikapi Klaim “Yang Tumbuh dari Bawah”

Rabu, 16 Juli 2025 - 17:30 WIB

Harlah BNPT: Momentum Teguhkan kembali Tekad untuk Bersama Jaga Indonesia

Berita Terbaru