Opini

Melawan atau Menderita: Dinamika Pertaruhan Akademika dalam Kehidupan Mahasiswa

52
×

Melawan atau Menderita: Dinamika Pertaruhan Akademika dalam Kehidupan Mahasiswa

Sebarkan artikel ini
Rifki Hidayat, Koordinator Daerah Banbaru Aliansi Mahasiswa Giliraja. Foto/Klik Times.

OPINI | KLIKTIMES.ID – Kampus seringkali digambarkan sebagai ruang intelektual yang bebas, tempat di mana mahasiswa bisa tumbuh dan mengasah daya pikir yang kritis. Namun pada kenyataannya, dunia akademika tidak selalu seideal yang kita bayangkan. Ada beberapa tekanan yang membuat kehidupan mahasiswa menjadi sebuah pertaruhan: antara bertahan dalam penderitaan atau memilih jalan perlawanan.

Isu-isu politik dalam ranah kampus memperlihatkan betapa peliknya kehidupan akademika. Kenaikan UKT yang terus terjadi tanpa adanya transparansi membuat banyak mahasiswa menanggung beban berat. Ada beberapa Mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah harus mengajukan keringanan hanya untuk tetap bisa kuliah. Bagi sebagian mahasiswa, kondisi ini adalah penderitaan yang nyaris mematikan harapan Mahasiswa. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga melahirkan perlawanan dalam bentuk aksi massa, kritik terbuka, hingga advokasi kebijakan.

Lebih jauh lagi, kebebasan akademik seringkali terancam. Mahasiswa yang memiliki pikiran kritis, yang berani mengkritik kebijakan kampus maupun pemerintah, justru mendapat beberapa tekanan, baik berupa sanksi maupun stigma. Padahal, esensi kampus itu adalah ruang Intelektual, ruang demokratis untuk menguji dan memperdebatkan gagasan. Dalam hal seperti ini, Mahasiswa harus memilih, diam dan menderita dalam sistem yang mengekang, atau melawan dengan segala risiko yang akan datang.

Sejarah menunjukkan bahwasanya suara Mahasiswa tidak pernah bisa diremehkan. Dari perlawanan 1966, Reformasi 1998, hingga gelombang demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja, Mahasiswa selalu menjadi bagian terpenting dari perubahan sosial-politik bangsa. Maka, ketika dunia akademika menghadirkan penderitaan, perlawanan bukanlah sekadar pilihan emosional, melainkan sebuah panggilan moral.

Pertaruhan hidup dalam kampus sesungguhnya pertaruhan masa depan bangsa. Jika mahasiswa memilih untuk diam dalam penderitaan tanpa adanya perlawanan yang kritis dan terorganisis, maka kampus hanya akan menjadi mesin birokrasi yang melahirkan lulusan patuh namun apatis.

Mengutip kata dari Rocky Gerung, Sopan santun itu adalah bahasa tubuh, pikiran tidak memerlukan sopan santun, pikiran yang di sopan santunkan dalam politik itu adalah kemunafikan.

*) Rifki Hidayat, Koordinator Daerah Banbaru Aliansi Mahasiswa Giliraja. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *