OPINI | KLIKTIMES.ID – Upaya penertiban terhadap masifnya peredaran rokok ilegal di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, tampaknya masih jauh panggang dari api. Saya berani mengatakan, langkah Satgas Rokok Ilegal untuk menertibkan peredaran barang haram cukai ini mustahil dilakukan secara tuntas.
Sebab, sekalipun aparat mendadak melakukan operasi di sejumlah titik produksi, tindakan itu tidak akan cukup untuk membasmi akar persoalan. Operasi semacam ini hanyalah langkah kosmetik – sekadar menampilkan bahwa penegakan hukum masih berjalan, padahal lumbung-lumbung produksi tetap berdenyut di balik tembok yang sulit dijangkau hukum.
Selama ini, pola tindakan aparat masih berkutat pada langkah klasik: menyasar toko-toko kecil, menyita rokok dari kios atau menghentikan distribusi di jalanan. Ironisnya, pabrik-pabrik rokok ilegal yang menjadi sumber utama justru dibiarkan aman tanpa sentuhan hukum. Akibatnya, peredaran rokok tanpa pita cukai tetap subur bahkan semakin meluas.
Yang lebih memprihatinkan, muncul dugaan kebocoran informasi operasi dari oknum aparat sendiri. Beberapa sumber menyebut, ada anggota Polres Pamekasan yang justru menjadi “pembisik” sebelum operasi dilakukan.
Bila dugaan ini benar, maka penegakan hukum di Pamekasan sejatinya hanyalah sandiwara yang dimainkan di panggung depan, sementara di belakang layar, para pelaku industri ilegal bebas menulis naskah dan mengatur adegan sesuka hati.
Kondisi ini mengingatkan saya pada kalimat Niccolò Machiavelli dalam Il Principe:
“Tidak ada yang lebih sulit dilakukan, lebih berisiko, dan lebih tidak pasti hasilnya, selain mencoba membawa tatanan baru.”
Pernyataan itu relevan dengan situasi hari ini, karena menertibkan industri rokok ilegal berarti mengguncang tatanan “kenyamanan” yang selama ini dinikmati oleh sebagian pihak, baik yang berkepentingan langsung maupun tidak. Maka wajar bila setiap langkah pembenahan selalu berujung buntu, karena perubahan selalu menjadi ancaman bagi mereka yang hidup dari status quo.
Dengan kondisi seperti ini, berharap penegakan hukum di Pamekasan bisa menembus benteng bisnis rokok ilegal sama saja seperti berharap perahu bocor menyeberangi lautan badai. Tak peduli seberapa keras dayung dikayuh, kapal itu akan tetap karam sebelum sampai ke pelabuhan keadilan.
Lalu, mengapa saya berani menyematkan diksi “mustahil”? Sekali lagi, bukan bermaksud melampaui kuasa Tuhan, tetapi ini berdasarkan pengalaman empiris. Saya masih mengingat jelas momen ketika saya berkesempatan berdialog langsung dengan Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, Andru Iedwan Permadi, di pendopo Keraton Sumenep pada Rabu (25/6/2025).
Dalam perbincangan itu, Pak Andru tampak linglung ketika saya menyinggung soal pemberantasan rokok ilegal dari sumber produksinya. Jawaban yang keluar begitu normatif: “Penindakan dilakukan sesuai prosedur.” Sebuah kalimat yang terdengar sopan, namun kosong makna.
Sebab di balik kata “prosedur”, terselip jebakan bernama birokrasi dan kebocoran informasi. Bila semua harus serba prosedural sementara informasi operasi sudah bocor lebih dulu, bagaimana mungkin hukum dapat menemukan alat bukti yang kuat untuk memberangus lumbung rokok ilegal?
Namun demikian, ditengah kepercayaan publik yang nyaris mendekati ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, pemerintah tetap berupaya menampilkan langkah simbolik. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya, hadir langsung dalam kegiatan pemusnahan 235,4 juta batang rokok ilegal dalam rangkaian Aksi Gempur Rokok Ilegal di Gedung Keuangan Negara (GKN) I Surabaya pada Kamis (2/10/2025).
Barang-barang ilegal tersebut merupakan hasil penindakan Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I dan II hingga September 2025, dengan estimasi potensi kerugian negara mencapai Rp210 miliar.
Sebuah angka yang terdengar heroik di atas podium, namun di lapangan, denyut lumbung-lumbung rokok ilegal di Pamekasan masih terus bernafas pelan, tenang dan pasti. Karena, seperti kata Machiavelli pula,
“Manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada hilangnya kekayaannya.”
Barangkali di situlah kuncinya. Hukum bisa ditegakkan bila kekuasaan tidak tergoda oleh keuntungan. Namun ketika kekuasaan dan kepentingan bersekutu, maka hukum hanya menjadi tirai tipis yang menutupi kebusukan di balik layar. Dan selama tirai itu dibiarkan tertutup, maka penertiban rokok ilegal di Pamekasan akan tetap menjadi sebuah kemustahilan yang terencana.
Deretan Penindakan yang Tak Memberi Efek Jera
Sedikitnya delapan operasi besar tercatat dalam tiga tahun terakhir:
1. Surabaya (Desember 2024): Bea Cukai Jatim I bersama Polrestabes menggagalkan pengiriman New Hummer senilai Rp2,1 miliar menggunakan truk berpendingin yang dimodifikasi.
2. Terminal Ceguk, Pamekasan (Maret 2022): 291.000 batang rokok ilegal disita saat hendak dikirim ke Bogor.
3. Pemusnahan Bea Cukai Madura (Oktober 2021): 5 juta batang rokok ilegal hasil 151 penindakan dimusnahkan, mayoritas dari Pamekasan.
4. Awal 2025: Dalam sebulan, lebih dari 5 juta batang rokok ilegal disita; merek New Hummer kembali mendominasi.
5. Operasi Gabungan di 13 Kecamatan Pamekasan (Juni 2024): Menyasar toko kelontong dan jasa ekspedisi yang terindikasi menyalurkan rokok ilegal.
6. Desa Bangkes, Kadur (April 2025): Seorang produsen ditangkap, tapi hanya dikenai denda Rp49 juta tanpa proses hukum lanjutan.
7. Jateng-DIY (Juli 2025): 30 karton rokok Humer diamankan; diduga kuat hasil produksi Pamekasan.
8. Bea Cukai Pasuruan (Juli 2025): Menyita rokok ilegal merek New Humer yang akan dikirim ke Bali, diduga dari jaringan Sumenep.
Bahkan baru-baru ini, sebuah video viral memperlihatkan emak-emak di Pamekasan menyebut-nyebut nama “Sultan Pamekasan” yang diduga mempolakan sistem setoran kepada oknum Bea Cukai.
Namun, meski daftar penindakan panjang, distribusi New Hummer tetap lancar. Di lapangan, jalur edarnya bahkan makin rapi. Agen lokal di Sumenep seperti warga Pangarangan berinisial R diduga masih aktif menyuplai ke Batu Putih, Kalianget, hingga Talango. Warung-warung kecil menjualnya tanpa rasa takut.
Diduga kuat seluruh jaringan ini terhubung dengan pengusaha besar asal Kadur berinisial KU. Meski namanya santer disebut sebagai pemodal utama, KU nyaris tak tersentuh hukum. Penindakan selalu berhenti di level bawah, sementara aktor utama tetap duduk manis di balik meja kekayaan.
Kendati demikian, masifnya rokok ilegal bermerek New Hummer ini sulit dibasmi meski jelas-jelas melanggar regulasi UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Deretan mafia tersebut tetap menyalakan api produksi tanpa beban rasa bersalah, meski kebocoran penerimaan negara terus terjadi.
Jika benar ada perencanaan untuk memberantas rokok ilegal dari sumbernya, maka harus ada strategi terpadu dari Bea Cukai Madura, Satpol PP, hingga Kanwil Bea Cukai Jatim yang bersinergi dengan semangat dan komitmen penuh dari Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Sebab tanpa keberanian dari hulu hingga hilir, semua rencana tinggal jargon di atas kertas.
Maka saya katakan, penertiban rokok ilegal di Pamekasan bukanlah semata-mata soal menindak pelanggaran cukai tetapi soal melawan sistem yang sudah terlalu nyaman hidup dalam ketidaktertiban. Ia bukan hanya persoalan hukum tetapi juga persoalan moral, integritas dan keberanian.
Selama aparat masih takut menembus jantung produksi dan kekuasaan masih bersekutu dengan keuntungan, maka penertiban rokok ilegal di Pamekasan akan terus menjadi sebuah kemustahilan yang terencana, disusun dengan rapi, dijaga dengan senyap dan dipelihara oleh mereka yang seharusnya menegakkan keadilan. Sekian.
*) M. Faizi, Pegiat Media.