OPINI | KLIKTIMES.ID – Jurnalis terdidik pasti sensitif gender, karena Kode Etik Jurnalistik telah megatur ketentuan yang cukup normatif.
Namun, masih banyak jurnalis yang tidak punya wawasan gender, tidak mengerti ideologi feminisme dan miskin literasi sehingga tidak peka dan rawan menabrak asas-asas kepantasan. Bisa jadi itu jenis jurnalis abal-abal yang hadir sekonyong-konyong tanpa uji kompetensi.
Wartawan abal-abal yang terus tumbuh ini pasti mengancam integritas jurnalis yang profesional dan penuh integritas. Karena itu, jurnalis senior yang sudah malang melintang harus hadir di tengah-tengah kekacauan, agar dapat menjadi cahaya bagi generasi masa depan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam banyak ruang kehidupan, perempuan masih harus menanggung beban berlapis. Ia tidak hanya menghadapi stigma dan konstruksi sosial yang bias gender, tetapi juga kerap menjadi sasaran kekerasan yang dilegitimasi oleh budaya patriarkis dan diperparah oleh keterbatasan wawasan oknum jurnalis.
Dalam perspektif gender, perempuan adalah kelompok rentan. Ia sering menjadi korban kekerasan fisik, seksual, psikis, maupun penelantaran. Yang lebih menyakitkan, penderitaan itu kerap diabaikan atau dipelintir oleh narasi publik, termasuk oleh media. Jurnalisme kadang justru mereproduksi ketidakadilan.
Kita bisa melihat dalam kasus perceraian. Banyak putusan pengadilan yang menetapkan hadhonah (hak asuh) jatuh pada istri, tetapi mantan suami jarang sekali menunaikan kewajiban nafkah anak, mulai dari biaya kesehatan, pendidikan, hingga kebutuhan pertumbuhan. Akibatnya, perempuan kembali dipaksa menanggung triple burden: mengasuh anak, menopang ekonomi, dan tetap menghadapi stigma sosial sebagai janda.
Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik luluh oleh rayuan agar tidak menuntut pelaku. Banyak korban kekerasan seksual memilih diam karena takut disalahkan, malu, dan khawatir diberitakan secara negatif. Bahkan tubuh perempuan kerap dijadikan komoditas, sementara psikis mereka terluka, terintimidasi, hingga akhirnya memilih bungkam. Fenomena ini disebut reviktimisasi: korban yang sudah menderita, dilukai kembali oleh masyarakat dan media.
Dalam teori feminisme, media seharusnya berfungsi sebagai alat counter-hegemonic, yakni melawan dominasi ketidakadilan dan membela kelompok rentan. Namun praktiknya, sebagian media justru melanggengkan bias gender, menulis dengan perspektif maskulin, bahkan menjadikan perempuan sebagai objek sensasi, akhirnya, perempuan mengalami kekerasan fisik dan tertindas secara psikis.
Di sinilah pentingnya wawasan gender bagi para jurnalis. Uji Kompetensi Wartawan (UKW) harus menekankan sensitivitas gender, agar setiap produk jurnalistik tidak jatuh pada victim blaming atau objectification. Wartawan yang peka gender akan memahami bahwa berita bukan sekadar fakta, tetapi menyangkut kehormatan dan martabat manusia.
Jurnalisme adalah officium nobile—profesi mulia yang seharusnya menjadi penjaga nurani publik. Untuk itu, wartawan senior mesti bersuara lantang, menasehati wartawan yunior, terlebih mereka yang belum pernah ikut pendidikan atau lulus UKW. Sebab tanpa etika dan kepekaan gender, pena jurnalis bisa berubah menjadi senjata yang menindas, bukan membebaskan.
Perempuan korban ketidakadilan harus dilindungi dan dikuatkan, jangan jadikan profesi jurnalis sebagai alat menindas kaum perempuan.
***
**) Opini Ditulis oleh Sulaisi Abdurrazaq, Praktisi Hukum dan Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.