Catatan Terbuka untuk Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo: Jalan Rusak, Harapan Retak dan Cinta yang Tak Lagi Sampai
- account_circle Redaksi
- calendar_month 8 jam yang lalu
- visibility 55

Kerusakan Infrastruktur Jalan Yang Menghubungkan Desa Bragung - Prancak. (Foto:zi).
KOLOM, KLIK TIMES – Ada kalanya yang rusak bukan hanya jalan tapi juga harapan. Ada waktunya yang berlubang bukan sekadar aspal tapi juga kepercayaan.
Dan pagi itu, saat hujan membasahi tanah Bragung dan Prancak, kami sadar:
Air yang menggenang di lubang jalan rupanya lebih jujur daripada janji-janji yang belum ditepati. Kami bukan pemilik data atau kuasa, Pak.
Kami hanya pemilik langkah-langkah kecil yang menyusuri jalan rusak dengan doa di punggung dan harapan di genggaman.
Jalan itu bukan hanya penghubung antardesa tapi penghubung hidup dari rumah ke sekolah, dari ladang ke pasar, dari mimpi ke kenyataan.
Maka izinkan kami menulis. Bukan untuk menggugat tapi untuk mengabarkan luka-luka kecil yang selama ini diam. Luka yang barangkali tak terlihat dari balik meja-meja kebijakan tapi nyata kami rasakan di setiap kilometer yang penuh guncangan.
Pak Bupati yang kami hormati,
Kami tahu, tak mudah menjadi seorang pemimpin. Tak mudah berdiri di antara angka-angka anggaran dan wajah-wajah rakyat yang menunggu. Tapi hari ini, izinkan kami menyampaikan sepucuk harapan, bukan sekadar surat melainkan jeritan lirih yang lahir dari lubang-lubang jalan yang tak kunjung tertambal.
Ada satu jalur penghubung antara Desa Bragung dan Desa Prancak yang terus menganga. Jalan itu bukan baru rusak, Pak. Ia sudah lama retak seperti hati dua anak manusia dalam cerita lama yang kami kenal: Zainuddin dan Hayati.
Kalau Bapak pernah membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Bapak tahu betapa menyakitkannya sebuah cinta yang tak sampai. Bukan karena takdir yang tak berpihak tapi karena sistem yang tak berpijak.
Jalan Bragung–Prancak adalah Hayati yang terjebak dalam keraguan. Sementara rakyat yang menunggunya adalah Zainuddin yang patah karena janji pembangunan itu ternyata tak pernah benar-benar datang.
Dulu, ketika wacana perbaikan jalan itu diumumkan sebagai prioritas tahun 2025, kami sempat sumringah. Harapan tumbuh seperti pagi di musim kemarau yang akhirnya turun hujan. Tapi sekejap kemudian, Inpres Nomor 1 Tahun 2025 membuyarkan semuanya. Dana Alokasi Khusus (DAK) dihapus, proyek pun batal.
Seperti Hayati yang akhirnya diminta menikah oleh adat yang dingin, rakyat dua desa ini kembali menunggu dalam diam dan luka.
Kami tahu, Pak. Ini bukan salah Bapak. Tapi jika bukan Bapak yang mendengar kami, siapa lagi?
Hari ini, setiap lubang di jalan itu bukan hanya kubangan air saat hujan tapi juga genangan kecewa, kehilangan arah dan pertanyaan yang tak pernah dijawab: Apakah kami harus terus mencintai jalan ini, jika ia tak pernah dipeluk oleh perhatian?
Beberapa waktu lalu, saya pernah konfirmasi kepada Kepala Bidang Bina Marga DPUTR Sumenep, Slamet Supriyadi. Ia menyebut kerusakan jalan tersebut lebih dari 15 persen. Ini bukan urusan tambal sulam,”katanya.
Sedangkan dalam lubuk hati paling dalam, kami butuh perbaikan menyeluruh sebagaimana Zainuddin butuh kepastian bukan sekadar kata manis.
Kami tak sedang memprotes. Kami hanya menulis dengan suara yang paling pelan agar Bapak tak hanya mendengar “rencana,” tapi juga mendengar “rasa.” Rasa yang patah karena terlalu lama menunggu. Terlalu lama percaya.
“Jangan hanya berhenti di rencana,” kata Pak Anwar, salah seorang warga yang tak pernah lelah berharap. Kata-katanya seperti kalimat terakhir dari Zainuddin saat melihat Hayati pergi:
“Kita sudah berjuang tapi sistem tidak berpihak pada cinta yang tulus.”
Pak Bupati,
Jika misal pusat memutus aliran dana, barangkali daerah bisa menyulam kembali prioritas dengan benang kasih kepada rakyat. Jika APBD tak cukup, mungkin bisa diracik skema gotong royong. Yang bukan hanya menyelesaikan jalan tapi juga mengembalikan kepercayaan.
Kami tidak meminta jalan yang mewah. Kami hanya ingin rasa aman di setiap roda motor yang melaju di pagi buta.
Kami ingin anak-anak kami sekolah tanpa takut terjatuh. Kami ingin ibu-ibu ke pasar tanpa luka. Kami ingin jalan ini selesai agar cinta kami kepada negeri ini tidak ikut retak.
Pak Bupati,
Zainuddin akhirnya mati karena patah hati. Kami tentu tak ingin jalan ini bernasib sama. Tapi jika terus dibiarkan, kami takut: bukan cuma aspal yang berlubang tapi juga hati kami yang perlahan-lahan mati.
Dari warga di antara Bragung dan Prancak, Kami masih menunggu seperti Zainuddin menatap laut, berharap ada kapal yang datang membawa pulang Hayati.
Kami titip harapan, Pak. Di antara lubang-lubang yang belum tertambal dan cinta-cinta yang belum sempat utuh.
Jika Bapak sudi, dengarkan kami. Jika belum bisa diperbaiki semuanya, setidaknya kami tahu Bapak benar-benar peduli.
***
**) Kolom Ditulis oleh M. Faizi, Pemuda Desa Bragung sekaligus Pegiat Media.
**) Tulisan Kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.
- Penulis: Redaksi