BeritaDaerah

Cabang Jember Ditutup, Dana Publik Dipertaruhkan, Dirut BPRS Bhakti Sumekar Enggan Transparan

63
×

Cabang Jember Ditutup, Dana Publik Dipertaruhkan, Dirut BPRS Bhakti Sumekar Enggan Transparan

Sebarkan artikel ini
Kantor BPRS Bhakti Sumekar. Foto/Net.

SUMENEP | KLIKTIMES.ID – Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep kembali menjadi bahan perbincangan publik. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar, yang diharapkan menjadi penguat Pendapatan Asli Daerah (PAD), justru kini menghadapi persoalan pelik.

Cabang BPRS Bhakti Sumekar di Kabupaten Jember resmi menutup operasional pada April 2024. Penutupan itu bukan strategi bisnis, melainkan konsekuensi atas memburuknya kondisi keuangan cabang akibat tingginya kredit macet. Permohonan penutupan bahkan telah diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak awal 2024 sebelum akhirnya dikabulkan.

Keputusan menutup cabang Jember tentu menimbulkan dampak luas. Tidak hanya mengganggu layanan perbankan bagi masyarakat setempat, tetapi juga mencoreng citra BPRS Bhakti Sumekar sebagai BUMD kebanggaan Sumenep. Alih-alih memberi keuntungan, langkah ekspansi ke Jember kini dianggap menambah beban. Pertanyaan pun muncul: apakah ini akibat salah kelola manajemen atau strategi ekspansi yang gegabah?

Ekspansi Sejak 2017

BPRS Bhakti Sumekar mulai membuka cabang di Jember pada akhir 2017. Saat itu, ekspansi tersebut dipandang sebagai terobosan berani untuk memperluas pangsa pasar sekaligus meningkatkan kontribusi pada PAD. Namun, seiring waktu, harapan itu tidak terwujud. Kredit macet yang terus membengkak menjadi beban, hingga akhirnya cabang tersebut tak mampu bertahan.

Meski kabar penutupan sudah ramai, hingga kini pihak manajemen belum menyampaikan penjelasan terbuka soal angka kerugian maupun status dana yang dikelola. Publik pun khawatir dana rakyat yang ditanam melalui permodalan daerah ikut terancam.

“BUMD ini lahir dari uang rakyat. Kalau sampai rugi, artinya kerugian itu ditanggung masyarakat Sumenep,” ujar Firdaus Muza, aktivis Gerakan Pemuda Republik (GPR), Senin (23/9/2024).

Tuntutan Audit dan Transparansi

Firdaus menilai penutupan cabang Jember sebagai cermin lemahnya pengawasan BUMD. Menurutnya, kasus tersebut bukan sekadar masalah operasional, tetapi juga persoalan serius yang bisa menggerus kepercayaan publik.

“BUMD seharusnya jadi mesin penggerak PAD, bukan menambah masalah. Penutupan ini menunjukkan ada persoalan serius dalam manajemen dan strategi bisnis,” tegasnya.

Ia juga mendesak pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh BUMD, termasuk audit terbuka agar publik mengetahui kondisi riil keuangan dan manajemen. “Kalau dibiarkan, kerugian ini bukan hanya mengurangi keuangan daerah, tapi juga merusak kepercayaan masyarakat,” imbuhnya.

Publik di Sumenep sendiri berharap ada audit independen untuk mengusut tuntas kasus penutupan cabang Jember. Pertanggungjawaban dinilai wajib, agar dana publik yang dikelola tidak raib tanpa kejelasan.

Dirut Enggan Berkomentar

Sementara itu, Direktur Utama BPRS Bhakti Sumekar, Hairil Fajar, memilih untuk tidak memberi keterangan detail saat dikonfirmasi wartawan. Ia menyatakan tidak bisa menyampaikan penjelasan melalui pesan singkat.

“Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikan lewat WhatsApp, saya sedang di perjalanan, Mas,” ujarnya singkat, Senin (22/9/2025). Ia meminta wartawan menemuinya langsung di kantor pusat jika ingin memperoleh penjelasan lebih lengkap.

Sikap tertutup ini justru menambah tanda tanya publik. Banyak pihak menilai, sebagai pengelola dana masyarakat, manajemen bank daerah seharusnya bersikap transparan dan akuntabel.

Beban Citra BUMD Sumenep

Penutupan cabang Jember memperpanjang catatan masalah yang pernah dialami BPRS Bhakti Sumekar. Sejumlah kalangan menilai, lemahnya pengawasan dari Pemkab Sumenep turut berkontribusi pada masalah ini.

BUMD yang dibiayai dari dana publik mestinya dikelola secara profesional. Setiap langkah ekspansi, penyaluran kredit, maupun strategi bisnis harus dipastikan aman, efektif, dan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Tanpa itu, risiko kerugian justru akan ditanggung masyarakat sendiri.

Kini, sorotan publik kian tajam mengarah pada pemerintah daerah sebagai pemilik saham mayoritas BPRS Bhakti Sumekar. Evaluasi mendalam terhadap manajemen serta mekanisme pengawasan dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan BUMD tidak bisa hanya berorientasi pada ekspansi semata, tetapi harus memperhatikan kualitas manajemen risiko, transparansi, serta tanggung jawab kepada publik. Tanpa langkah serius, BPRS Bhakti Sumekar berpotensi terus menjadi beban, bukan penopang, bagi keuangan daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *