PAMEKASAN | KLIKTIMES.ID – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan membeberkan sedikitnya lima modus utama peredaran rokok ilegal di Indonesia. Salah satunya adalah modus salah peruntukan pita cukai, yang kini ramai dikaitkan dengan dugaan pelanggaran pada produk Rokok Cahaya Pro di Madura.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menyebut modus-modus tersebut meliputi rokok polos tanpa pita cukai, penggunaan pita cukai palsu, pemakaian pita cukai bekas, salah peruntukan hingga salah personalisasi.
“Misalnya, pita cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) ditempelkan pada Sigaret Kretek Mesin (SKM). Tujuannya jelas untuk menghindari tarif cukai yang lebih tinggi,” ujar Nirwala dalam media briefing, Kamis (5/9/2025).
Dugaan modus salah peruntukan inilah yang menyeret nama Rokok Cahaya Pro. Berdasarkan informasi yang beredar, rokok filter berisi 16 batang tersebut justru ditempeli pita cukai golongan SKT. Padahal, secara regulasi, rokok filter masuk kategori SKM yang tarif cukainya jauh lebih tinggi.
“Kalau begini jelas merugikan negara. Rokok filter ditempeli pita cukai SKT, ini salah peruntukan. Apalagi kalau dilakukan secara sistematis,” ungkap seorang aktivis mahasiswa di Sumenep yang ikut mengawal isu rokok ilegal.
Selain itu, Nirwala juga mengingatkan adanya modus salah personalisasi, yakni pita cukai dengan kode khusus untuk satu pabrikan dipasang pada merek rokok lain. Menurutnya, pola ini membuat pengawasan semakin kompleks.
Namun, di tengah gencarnya pengungkapan DJBC pusat, publik justru menyoroti lemahnya pengawasan di daerah. Bea Cukai Madura dinilai tidak cukup tegas menghadapi praktik curang tersebut.
“Kalau Bea Cukai pusat sudah gamblang menjelaskan modus, kenapa di daerah seperti Madura kasus Cahaya Pro bisa lolos begitu saja? Jangan-jangan ada pembiaran, atau malah ada yang bermain mata,” sindir Firdaus Maza, Koordinator Gerakan Pemuda Republik (GPR).
Firdaus menilai, maraknya dugaan pelanggaran cukai di Madura wajar menimbulkan spekulasi publik bahwa Bea Cukai Madura sedang “kerasukan” bukan sekadar lalai, melainkan kehilangan akal sehat dalam menjalankan amanah.
Meski begitu, Nirwala menegaskan seluruh pelanggaran cukai pada dasarnya merupakan tindak pidana. Hanya saja, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah memberi ruang penyelesaian dengan pendekatan restorative justice agar penanganan perkara lebih proporsional.
“Ultimum remedium bukan berarti menghapus pidana. Itu hanya mengakhirkan pidana, sepanjang denda dibayarkan,” katanya.
Kini, publik Madura menanti langkah nyata Bea Cukai Madura. Apakah kasus Cahaya Pro benar-benar masuk skema salah peruntukan pita cukai sebagaimana diungkap DJBC pusat atau isu ini sekadar lalu-lalang tanpa tindak lanjut.
Yang jelas, dugaan pelanggaran cukai bukan sekadar soal bisnis tapi juga soal keadilan, penerimaan negara dan integritas aparat yang dipercaya mengawalnya.