Perempuan Dan Perubahan Sosial Di Madura, Antara Tradisi Dan Emansipasi
- account_circle Redaksi
- calendar_month Jum, 4 Jul 2025
- visibility 33

Robiatil Hurriyah Mahasiswa STIT AL IBROHIMY Bangkalan.
OPINI, Klik Times – Madura yang terkenal dengan pulau garam merupakan salah satu wilayah yang kaya akan budaya dan tradisi, serta memiliki keunikan tersendiri dalam masalah sosial masyarakatnya. Salah satu hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana posisi dan peran perempuan di tengah dinamika budaya Madura yang kuat, terutama dalam menghadapi perubahan sosial yang semakin cepat.
Perempuan Madura tidak hanya menjadi penjaga nilai-nilai tradisional, tetapi juga pelaku penting dalam proses emansipasi dan transformasi sosial. Secara historis, kehidupan perempuan Madura dalam masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki. Hal ini terlihat dari kuatnya peran laki-laki dalam pengambilan keputusan, baik di ranah domestik maupun publik.
Perempuan umumnya diposisikan sebagai pengatur rumah tangga, pendidik anak, dan penjaga moral keluarga. Budaya “malu” (dalam bahasa Madura disebut isè’) sangat dijunjung tinggi oleh perempuan, dan norma sosial menuntut mereka untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga.
Meski demikian, perempuan Madura dikenal mempunyai watak yang kuat dan tegas. Banyak perempuan yang terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti berdagang di pasar, menjual hasil tani atau laut, serta membantu suami dalam usaha keluarga.
Hal ini menunjukkan, walaupun ruang gerak perempuan Madura dibatasi oleh budaya, mereka tetap mampu memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, ketika laki-laki pergi merantau merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Namun seiring berjalannya waktu, masuknya pendidikan, media, dan pengaruh globalisasi merubah peran perempuan di Madura. Perempuan mulai menempuh pendidikan lebih tinggi, aktif dalam organisasi sosial, dan berpartisipasi dalam dunia kerja di luar rumah. Mereka mulai memiliki kesadaran akan hak-haknya sebagai individu, baik dalam aspek hukum, pendidikan, maupun sosial. Keadaan inilah yang kemudian memicu munculnya ketegangan antara nilai-nilai tradisional yang mengikat dan semangat emansipasi yang mendorong perubahan.
Dalam pandangan filsafat, manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya. Emansipasi perempuan bukan sekadar tentang kesetaraan formal, tetapi tentang pengakuan akan keberadaan perempuan sebagai subjek yang otonom dan rasional.
Dalam konteks Madura, ini berarti memberi ruang bagi perempuan untuk berpikir dan bertindak atas dasar pilihan mereka sendiri, tanpa harus meninggalkan identitas budaya yang telah membentuk jati diri mereka.
Salah satu tantangan utama dalam upaya memperjuangkan emansipasi perempuan di Madura adalah masih kuatnya tekanan sosial dan ekspektasi budaya. Perempuan yang berani bersuara (speak up) atau aktif di ruang publik dianggap melanggar norma. Mereka bisa dicap tidak sopan, tidak tahu diri, atau bahkan “keluar dari kodratnya.” Ini menciptakan dilema besar bagi perempuan yang ingin berkembang tetapi takut dicemooh masyarakat.
Namun, tidak sedikit contoh positif dari adanya perubahan sosial. Kini mulai banyak tokoh perempuan Madura yang menjadi guru, dosen, kepala sekolah, bahkan pejabat publik. Organisasi perempuan, baik berbasis agama maupun sosial, semakin aktif menyuarakan isu-isu kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, dan perlindungan perempuan dari kekerasan. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti penyuluhan hukum, pelatihan keterampilan, dan advokasi hak-hak perempuan.
Dalam perspektif filsafat emansipasi, perubahan ini merupakan bagian dari proses pembebasan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penindasan struktural. Emansipasi bukan berarti menolak budaya, tetapi menafsirkan ulang budaya secara lebih adil dan manusiawi.
Adanya tradisi tidak sewajarnya menjadi alat pembenaran untuk membatasi hak-hak perempuan, tetapi justru harus menjadi fondasi nilai yang mendorong keadilan dan kemanusiaan. Perlu disadari bahwa perempuan Madura tidaklah homogen. Kondisi sosial dan budaya mereka berbeda-beda, tergantung latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap emansipasi perempuan Madura tidak bisa diseragamkan. Dibutuhkan pendekatan yang sensitif terhadap konteks lokal, dialog antar generasi, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk laki-laki.
Langkah nyata yang bisa diambil untuk mendukung emansipasi perempuan di Madura dengan memperluas akses pendidikan yang setara, mendukung perempuan dalam dunia kerja dan usaha, memperkuat lembaga perlindungan perempuan, serta membangun ruang diskusi publik yang mendorong pemikiran kritis terhadap budaya. Keluarga dan lembaga pendidikan harus menjadi tempat awal yang menanamkan nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap potensi perempuan.
Akhirnya, perempuan Madura adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Mereka bukan hanya objek yang dibentuk oleh tradisi, tetapi juga subjek yang membentuk ulang tradisi agar lebih adil. Dalam filosofi Madura yang dikenal keras namun setia pada nilai-nilai, perempuan hadir sebagai kekuatan yang lembut namun kuat. Mereka bergerak di antara dua dunia, dunia lama yang memeluk tradisi, dan dunia baru yang membawa harapan emansipasi.
Dengan menyadari potensi besar perempuan dalam membentuk masa depan masyarakat, sudah saatnya kita tidak lagi melihat emansipasi sebagai ancaman bagi budaya. Sebaliknya, kita harus melihatnya sebagai jalan menuju masyarakat yang lebih adil, beradab, dan manusiawi. Karena perempuan Madura, dengan segala tantangannya, terus melangkah. Bukan untuk meninggalkan budayanya, tetapi untuk menghidupkannya dengan cara yang lebih bermartabat.
***
**) Opini Ditulis oleh Robiatil Hurriyah, Mahasiswi STIT AL IBROHIMY Bangkalan
**) Tulisan artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media Klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksi Klik Times.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.
- Penulis: Redaksi