Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Opini » Madura Sudah Berfilsafat Sebelum Dosen Filsafat Ada!

Madura Sudah Berfilsafat Sebelum Dosen Filsafat Ada!

  • account_circle Redaksi
  • calendar_month Jum, 4 Jul 2025
  • visibility 75

OPINI, Klik Times – Ada sebuah pertemuan sebuah organisasi mahasiswa di Jogja. Kebetulan ada perwakilan dari STITAL Ibrohimy Bangkalan yang juga ikut serta. Sebelum acara dimulai, beberapa mahasiswa berdiskusi ringan tentang seputar dinamika politik yang lagi viral. Tiba-tiba, mahasiswa UIN Walisongo bertanya kepada Mahasiswa STITAL Ibrohimy. Dia bertanya: “Madura itu termasuk daerah tertinggal dan SDM tergolong rendah. Apa yang bisa dibanggakan?”

Mahasiswa STITAL Ibrohimy menjawab: “Loh jangan salah, yang bisa dibanggakan dari Madura itu banyak. Salah satunya filsafat. Madura sudah berfilsafat sebelum dosen filsafat ada!”

Apakah jawaban tersebut ada dasarnya atau cuma guyonan belaka? Saya akan mencoba menelusurinya.

Filsafat memang sering dianggap sebagai warisan intelektual Barat, dengan nama-nama seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles mendominasi panggung sejarahnya. Namun, filsafat sejatinya bukan monopoli dunia akademik modern atau para profesor yang mengajar di ruang-ruang kuliah. Filsafat adalah kecenderungan alami manusia untuk bertanya, merenung, dan mencari makna di balik kenyataan hidup.

Dalam konteks ini, masyarakat Madura sesungguhnya telah berfilsafat jauh sebelum istilah “dosen filsafat” menjadi bagian dari dunia pendidikan formal. Filsafat di Madura hidup dalam laku, bahasa, adat, dan cara hidup masyarakatnya, meskipun tanpa label akademik.

Filsafat Rakyat: Hakikat di Balik Laku Sehari-hari

Banyak orang mengira bahwa filsafat hanya lahir dari buku-buku tebal dan ruang-ruang diskusi yang canggih. Padahal, filsafat juga bisa hadir dalam tutur petuah kakek-nenek, dalam adat yang dijunjung tinggi, dan dalam cara seseorang memaknai hidupnya.

Orang Madura dikenal keras, tegas, namun sangat memegang prinsip. Di balik karakter ini tersembunyi nilai-nilai filosofis yang mendalam. Misalnya, prinsip “bapa, babbu, guru, rato”—urutan penghormatan terhadap ayah, ibu, guru, dan pemimpin—mengandung pandangan filsafat tentang struktur otoritas, etika, dan pendidikan yang ditanamkan sejak kecil. Ini bukan hanya tata sosial, tetapi cara berpikir tentang dunia dan bagaimana manusia seharusnya hidup di dalamnya.

Kearifan Lokal Sebagai Filsafat Hidup

Filsafat tidak selalu harus hadir dalam bentuk abstrak dan teoritis. Ia juga bisa tampil dalam bentuk kearifan lokal. Orang Madura memiliki banyak petuah, seperti “lakonah pote tolang, entar pote mata” (lebih baik putih tulang daripada putih mata) yang menggambarkan sikap menjunjung harga diri, kehormatan, dan prinsip hidup.

Ini bukan sekadar semangat berani atau nekat, tetapi merupakan landasan etis eksistensial yang sejajar dengan gagasan filsafat eksistensialisme Barat: bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan pilihan hidupnya.

Dalam petuah ini, terdapat kesadaran akan identitas, tanggung jawab pribadi, serta nilai-nilai yang dijunjung melebihi kenyamanan fisik. Dalam bahasa filsafat, ini mencerminkan pemikiran bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi juga makhluk etis dan kultural. Bahkan tanpa menyebut Sartre atau Nietzsche, orang Madura telah hidup dalam dimensi-dimensi filsafat tersebut.

Tradisi Santri dan Renungan Spiritual

Jangan lupakan pula bahwa masyarakat Madura sangat erat dengan tradisi pesantren dan kehidupan santri. Di sana, filsafat Islam seperti tasawuf, mantiq (logika), dan kalam telah dipelajari secara turun-temurun. Bahkan sebelum masuk universitas, banyak santri Madura sudah akrab dengan pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, Ibnu Arabi, atau Imam Nawawi.

Mereka mungkin tidak menyebutnya “filsafat” dalam istilah akademik, tetapi kegiatan berpikir mendalam, reflektif, dan kritis itu telah menjadi bagian dari tradisi keilmuan. Ketika seorang santri Madura merenungkan hakikat tawakkal, ikhlas, atau sabar, dia sesungguhnya sedang berfilsafat. Ketika mereka berdiskusi soal takdir, kehendak bebas, dan tujuan hidup, itu sudah setara dengan perdebatan dalam filsafat moral atau filsafat agama. Bedanya hanya pada terminologi dan tempat mereka belajar.

Filsafat dalam Seni dan Budaya Madura

Budaya Madura juga kaya dengan nilai-nilai filosofis yang terekspresi melalui seni. Dalam karapan sapi, misalnya, terdapat filosofi kerja keras, semangat kompetisi, dan kehormatan. Karapan sapi bukan hanya tontonan, tapi juga lambang prestise dan identitas sosial. Bahkan, ritual-ritual pengiringnya seperti tabuhan musik saronen atau doa-doa khusus mengandung makna spiritual yang mendalam.

Ada keyakinan bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, tapi juga oleh doa, keberkahan, dan keharmonisan dengan alam. Demikian pula dengan macapat, tembang, atau sastra lisan Madura yang banyak menyimpan ajaran moral dan refleksi hidup. Di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan tentang kematian, cinta, kebahagiaan, dan ketuhanan semua merupakan tema klasik dalam filsafat.

Filsafat Sebagai Laku, Bukan Teori

Salah satu kesalahan besar dalam memahami filsafat adalah menganggapnya sebagai sesuatu yang hanya bisa dipelajari secara akademik. Padahal, filsafat sejati adalah cara hidup, cara memaknai dunia, dan cara mempertanyakan segalanya.

Dalam konteks ini, masyarakat Madura bisa dikatakan sangat filosofis karena mereka hidup dalam nilai-nilai yang reflektif, penuh makna, dan sarat dengan perenungan moral. Ketika seorang nelayan Madura bangun pagi untuk melaut dengan keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah, ia sedang menghayati filsafat tentang takdir dan usaha.

Ketika petani menanam dengan kesabaran dan harapan, itu adalah bentuk filsafat harapan dan masa depan. Dan ketika seseorang memilih diam karena menghormati perasaan orang lain, di situ ada filsafat tentang empati dan hubungan antar manusia.

Madura Bukan Objek, Tapi Subjek Filsafat

Sudah saatnya kita berhenti memandang budaya lokal seperti Madura sebagai objek dari filsafat, dan mulai melihatnya sebagai subjek yang aktif berfilsafat. Ini berarti tidak sekadar meneliti Madura sebagai “bahan kajian” para akademisi, tetapi mengakui bahwa orang Madura sendiri adalah pelaku filsafat dalam konteks budaya mereka.

Kita perlu mengangkat narasi-narasi lokal, mengapresiasi nilai-nilai kultural, dan membukanya dalam ruang akademik agar tidak terjadi pemisahan antara “filsafat kampus” dan “filsafat rakyat”.

Para dosen filsafat yang mengajar di perguruan tinggi seharusnya melihat budaya lokal seperti Madura sebagai sumber inspirasi filsafat, bukan hanya sebagai bahan antropologi atau folklor. Di sinilah pentingnya dekolonisasi pengetahuan—mengakui bahwa filsafat juga hidup dalam budaya non-Barat, dalam bahasa daerah, dan dalam ekspresi-ekspresi tradisional yang tidak kalah mendalamnya.

Jadi, pernyataan bahwa “Madura sudah berfilsafat sebelum dosen filsafat ada” bukanlah bentuk kesombongan kultural, melainkan sebuah pengingat bahwa akar filsafat tidak hanya tumbuh di ruang-ruang kelas, tetapi juga di ladang, laut, surau, dan pasar.

Filsafat Madura hidup dalam tindakan, dalam pepatah, dalam ritual, dalam diam, dan dalam jeritan hati. Kita yang hidup di era modern perlu merendahkan hati untuk belajar dari kearifan nenek moyang, bukan sekadar memuja teori dari luar.

Masyarakat Madura tidak menunggu gelar sarjana untuk berfilsafat, mereka telah hidup dalam filsafat yang membumi, yang membentuk karakter, dan yang menjaga marwah.

Filsafat tidak mati karena tidak diajarkan secara formal. Filsafat hanya mati jika kita berhenti berpikir dan berhenti menghargai warisan pemikiran yang hidup di tengah masyarakat kita sendiri. Dan selama orang Madura masih berkata, “Lebih baik putih tulang daripada putih mata,” maka selama itu pula filsafat akan terus hidup dalam darah dan jiwa mereka bahkan sebelum para dosen filsafat menyadarinya.

***

**) Opini Ditulis oleh Muzammil, Mahasiswa STIT AL IBROHIMY Bangkalan

**) Tulisan artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media Klik Times.id

**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksi Klik Times.id

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.

  • Penulis: Redaksi

Rekomendasi Untuk Anda

  • HKP ke-53, DKPP Sumenep Gaungkan Swasembada Pangan dan Libatkan Petani Muda

    HKP ke-53, DKPP Sumenep Gaungkan Swasembada Pangan dan Libatkan Petani Muda

    • calendar_month Jum, 20 Jun 2025
    • account_circle M. Faizi
    • visibility 55
    • 0Komentar

    SUMENEP – Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) bakal menggelar serangkaian kegiatan bertajuk Pekan Krida dalam rangka memperingati Hari Krida Pertanian (HKP) ke-53 yang jatuh pada 21 Juni 2025. Kegiatan berlangsung selama enam hari mulai 19 hingga 24 Juni dan tersebar di berbagai kecamatan termasuk wilayah kepulauan. Kepala Dinas Ketahanan Pangan […]

  • Rokok Ilegal Menggila di Madura, ALARM Siap Bongkar Modus Curang MBS dan Bani

    Rokok Ilegal Menggila di Madura, ALARM Siap Bongkar Modus Curang MBS dan Bani

    • calendar_month Rab, 2 Jul 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 52
    • 0Komentar

    SUMENEP – Peredaran rokok ilegal di wilayah Madura makin mengkhawatirkan. Tak hanya di warung-warung kecil, tapi hingga ke gudang besar, rokok tanpa pita cukai kini beredar bebas bak hantu di siang bolong. Ancaman terhadap penerimaan negara pun semakin nyata dan tak terbendung. Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat kerugian negara akibat peredaran rokok […]

  • Ketika Bea Cukai Jadi Canmacanan Katthu’: Menakutkan Dalam Citra, Mandul Dalam Fakta

    Ketika Bea Cukai Jadi Canmacanan Katthu’: Menakutkan Dalam Citra, Mandul Dalam Fakta

    • calendar_month Sen, 23 Jun 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 77
    • 0Komentar

    OPINI, Klik Times – Di tengah polemik maraknya peredaran rokok ilegal dan Jual Beli pita cukai di Madura, muncul istilah lokal yang sarat sindiran: canmacanan katthu’.  Dalam bahasa Madura, itu berarti macan buatan dari kayu. Ia terlihat buas, namun sejatinya tidak pernah menggigit siapa pun. Itulah metafora yang kini disematkan pada Bea Cukai Madura. Istilah […]

  • Sambut Hari Bhayangkara ke-79, Polres Sumenep Gelar Bakti Religi di Masjid Baitur Arham

    Sambut Hari Bhayangkara ke-79, Polres Sumenep Gelar Bakti Religi di Masjid Baitur Arham

    • calendar_month Rab, 18 Jun 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 66
    • 0Komentar

    SUMENEP – Dalam rangka menyambut Hari Bhayangkara ke-79, Polres Sumenep menggelar kegiatan Bakti Religi di Masjid Baitur Arham Jalan Slamet Riyadi Desa Pabian Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten Sumenep, Senin (17/6/2025). Kegiatan bakti religi dipimpin langsung oleh Kapolres Sumenep, AKBP Rivanda, S.I.K., dan diikuti oleh personel Polres serta warga sekitar masjid. Kegiatan bakti religi meliputi pembersihan […]

  • Efisiensi Anggaran, DKPP Sumenep Hanya Salurkan Bibit Tembakau di 15 Titik pada 2025

    Efisiensi Anggaran, DKPP Sumenep Hanya Salurkan Bibit Tembakau di 15 Titik pada 2025

    • calendar_month Sen, 30 Jun 2025
    • account_circle Redaksi
    • visibility 24
    • 0Komentar

    SUMENEP – Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, pada tahun 2025 ini hanya akan menyalurkan bantuan bibit tembakau di 15 titik lokasi. Jumlah tersebut menurun drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 30 titik. Kepala DKPP Sumenep, Chainur Rasyid, mengatakan bahwa kebijakan ini diambil sebagai langkah efisiensi anggaran yang tetap mengedepankan pemerataan […]

  • Ketua HMI Cabang Sumenep Minta Polemik Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan di UNIBA Diselesaikan Secara Internal

    Ketua HMI Cabang Sumenep Minta Polemik Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan di UNIBA Diselesaikan Secara Internal

    • calendar_month Sab, 21 Jun 2025
    • account_circle M. Faizi
    • visibility 112
    • 0Komentar

    SUMENEP – Polemik dugaan pemalsuan tanda tangan dalam proses pengajuan berkas organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Persiapan Universitas Bahaudin Mudhary (UNIBA) Madura tengah menjadi perhatian publik, terutama di kalangan kader organisasi. Beberapa pengurus HMI Komisariat Persiapan UNIBA Madura mengaku identitasnya dicatut dalam dokumen resmi organisasi tanpa persetujuan. Haikal Maulana, salah satu pengurus, secara tegas […]

You cannot copy content of this page

expand_less