Opini

Menakar I’tikad Nur Faizin: Membela Suara Rakyat Kangean atau Mengail Momentum?

67
×

Menakar I’tikad Nur Faizin: Membela Suara Rakyat Kangean atau Mengail Momentum?

Sebarkan artikel ini
Foto Ilustrasi.

OPINI | KLIKTIMES.ID – Tulisan ini sengaja saya paksakan hadir di ruang publik, mengingat kegaduhan soal penolakan survei seismik kian mewarnai Kabupaten Sumenep khususnya di Pulau Kangean. Riuh itu tak lagi sekadar percikan isu melainkan telah menjelma gelombang keresahan yang mustahil diabaikan.

Apalagi baru-baru ini suara lantang Anggota DPRD Jawa Timur, Nur Faizin, kian menusuk masuk dengan pernyataan advokatif yang seolah mengibarkan bendera pembelaan bagi rakyat Kangean. Jika kita tilik lebih dalam, penolakan masyarakat Kepulauan Kangean terhadap aktivitas survei seismik oleh PT Kangean Energy Indonesia (KEI) bukan sekadar riak kecil di tengah laut.

Ia sudah menjelma ombak besar dari demonstrasi di darat hingga patroli laut yang nyaris menyerupai “perang gerilya” nelayan dengan kapal survei. Situasi ini tak ubahnya bara dalam sekam, sedikit saja ditiup angin, bisa meledak jadi konflik horizontal yang runyam.

Dalam pusaran ketegangan ini, nama Nur Faizin, Anggota DPRD Jawa Timur asal Madura muncul ke permukaan. Ia bersuara lantang meminta Pemprov Jatim segera turun tangan memanggil manajemen PT KEI bahkan menghentikan seluruh kegiatan survei.

“Pemprov Jatim harus hadir, jangan tinggal diam. Aspirasi rakyat sangat jelas: menolak survei seismik. Kalau dibiarkan, ini bisa memicu konflik horizontal,” tegasnya. Sekilas, pernyataan ini terdengar heroik, layaknya ksatria yang membela rakyat kecil di tepi laut.

Namun, pertanyaan yang tak bisa kita elakkan adalah: benarkah suara Nur Faizin murni lahir dari jeritan nelayan Kangean atau ada aroma kepentingan lain yang ikut mewarnai? Politik, sebagaimana kata Machiavelli, kerap kali berjalan di lorong abu-abu, di mana garis tipis antara pembelaan tulus dan panggung pencitraan menjadi samar.

Mari kita lihat fakta. Warga Kangean jelas punya alasan mendasar. Laut bagi mereka bukan sekadar hamparan air asin melainkan nadi kehidupan, ladang nafkah sekaligus warisan bagi generasi mendatang. Survei seismik dengan segala risiko ekologisnya ibarat melempar batu ke sumur, gelombangnya bisa merusak sumber air utama masyarakat. Tak heran mereka marah. Dalam logika sederhana, kalau laut rusak, masa depan pun ikut tenggelam.

Nur Faizin pun menambahkan soal transparansi. Menurutnya, proyek yang diklaim demi kesejahteraan rakyat justru dijalankan tanpa keterbukaan.

“Kegiatan ini diklaim demi kesejahteraan rakyat tetapi faktanya dijalankan tanpa keterbukaan,” ujarnya. Kritik ini sahih. Proses pembangunan tanpa akuntabilitas hanya akan menimbulkan kecurigaan. Dan di titik inilah Nur Faizin seakan menegaskan posisinya sebagai “penjaga gerbang” kepentingan rakyat.

Namun, kalau kita tarik garis ke belakang, kasus ini terasa mirip dengan gaduh yang menggelegar beberapa waktu lalu: soal peredaran rokok ilegal di Madura. Kala itu, isu rokok ilegal juga mencuat sebagai persoalan serius. Suaranya keras, desakannya lantang bahkan ada yang menuding Bea Cukai “makan gaji buta” karena dianggap tak becus memberantas.

Lalu, apa benang merahnya baik dalam kasus rokok ilegal maupun survei seismik, rakyat selalu diposisikan sebagai korban yang harus dibela. Namun, problemnya, suara yang mengatasnamakan rakyat ini sering kali menjadi komoditas politik. Membela rakyat itu perlu, tapi ketika ia berubah jadi panggung, rakyat hanya jadi penonton yang sesekali dikutip demi menambah dramatisasi.

Kalau benar Nur Faizin berdiri sepenuhnya di pihak nelayan Kangean, maka keberanian itu harus dibuktikan dengan konsistensi, tak hanya saat sorotan kamera menyorot atau ketika momentum politik sedang seksi untuk ditunggangi. Konsistensi artinya mengawal sampai tuntas bukan sekadar mengeluarkan pernyataan keras lalu hilang ditelan kesibukan lain.

Dalam politik, “berpihak pada rakyat” sering kali serupa jargon iklan: menggugah di telinga tapi belum tentu sejalan dengan isi kotaknya. Nur Faizin harus menjawab, apakah ia benar-benar berangkat dari aspirasi masyarakat Kangean atau justru menunggangi isu ini demi posisi tawar politik di Madura sebagaimana kerasnya narasi saat membahas rokok ilegal.

Kita tentu berharap i’tikad itu tulus. Karena kalau tidak, rakyat Kangean akan merasakan sakit ganda: lautnya terancam dan suaranya dijadikan alat. Ingat kata Bung Hatta, “Demokrasi bukanlah soal mayoritas mengalahkan minoritas melainkan soal suara rakyat yang harus benar-benar didengar.”

Pertanyaannya, apakah Nur Faizin mendengar dengan hati atau hanya dengan kalkulator politiknya? Wallahu a’lam.

 

*) M. Faizi, Pegiat Media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *