BeritaNasional

HAM-I Imbau Publik Tolak Provokasi Adu Domba dengan Aparat

25
×

HAM-I Imbau Publik Tolak Provokasi Adu Domba dengan Aparat

Sebarkan artikel ini
Asep, Koordinator Nasional HAM-I. Foto. Klik Times.

JAKARTA | KLIKTIMES.ID – Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAM-I) mengingatkan masyarakat untuk tidak terjebak dalam provokasi yang bisa membenturkan rakyat dengan aparat keamanan. Pesan ini disampaikan menyusul sejumlah aksi unjuk rasa yang berujung ricuh dalam beberapa bulan terakhir.

Peringatan ini, menurut Koordinator Nasional HAM-I, Asep, penting disampaikan karena bentrokan tidak pernah membawa keuntungan. Sebaliknya, hal itu justru merusak kepercayaan publik terhadap negara dan mengancam kohesi sosial bangsa.

“Polarisasi sosial yang dibiarkan berlarut bisa memicu spiral kekerasan. Jika masyarakat memandang aparat sebagai lawan, sementara aparat terpaksa mengambil langkah koersif, maka kepercayaan publik terhadap negara akan runtuh,” kata Asep dalam keterangannya, Rabu (17/9/2025).

Lebih jauh, Asep menyoroti pola kericuhan yang kerap terjadi dalam demonstrasi. Ia menilai banyak aksi massa yang sebenarnya murni berangkat dari aspirasi publik, namun kemudian bergeser menjadi konflik karena adanya provokasi segelintir pihak.

Menurutnya, bentuk provokasi itu bisa berupa pelemparan botol, pembakaran fasilitas, hingga penyebaran ujaran kebencian di media sosial. “Inilah yang kita sebut agitasi: upaya memancing reaksi emosional agar aparat dan masyarakat saling berhadap-hadapan,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, Asep mengingatkan bahwa strategi adu domba antara sipil dan aparat bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Pola lama ini, kata dia, hanya akan merusak citra bangsa sekaligus melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

“Kalau masyarakat termakan provokasi, mereka tidak hanya kehilangan fokus pada isu utama, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dengan bermartabat,” tegasnya.

Di era digital, lanjut Asep, bahaya provokasi semakin nyata. Media sosial yang serba cepat sering dijadikan ruang subur untuk menyebarkan narasi provokatif dan memantik emosi massa.

“Inilah bahaya dari politik pasca-kebenaran. Masyarakat harus lebih bijak menyaring informasi agar tidak terjebak jebakan emosional,” katanya.

Meski demikian, Asep tetap memberi apresiasi kepada pemerintah dan kepolisian atas upaya menangani kasus-kasus sensitif. Salah satunya kasus meninggalnya driver ojol Affan Kurniawan dalam aksi di Jakarta, yang bahkan mendapat perhatian khusus dari Presiden.

Menurut Asep, keterlibatan Presiden yang langsung memerintahkan Kapolri mengawal proses hukum menunjukkan bahwa negara tidak menutup mata.

“Ini bukti mekanisme hukum bekerja. Semua pihak harus memberi ruang agar proses ini berjalan sesuai koridor,” ujarnya.

Di sisi lain, ia menekankan pentingnya peran ganda dalam menjaga ketertiban: masyarakat wajib menyampaikan aspirasi secara damai, sedangkan aparat harus mengawal unjuk rasa dengan cara persuasif dan profesional.

“Demonstrasi adalah hak, tapi harus dalam bingkai hukum dan etik. Bila kedua pihak menjalankan perannya, tidak ada alasan konflik harus terjadi,” kata Asep.

Ia pun menilai langkah Polri memperkuat pelatihan manajemen konflik hingga menerapkan prinsip proporsionalitas penggunaan kekuatan merupakan sinyal positif.

“Ini bentuk komitmen aparat untuk lebih adaptif dengan tuntutan demokrasi. Masyarakat harus mendukung, bukan melemahkan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Asep mengingatkan bahwa bentrokan masyarakat dan aparat tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga bisa mencoreng citra Indonesia di mata internasional.

“Negara bisa dipersepsikan gagal mengelola aspirasi warganya secara damai. Itu tentu merugikan diplomasi, investasi, dan kerja sama internasional,” jelasnya.

Karena itu, ia mendorong semua pihak pemerintah, aparat, masyarakat sipil, media, hingga akademisi untuk ikut aktif meredam ketegangan. Ia juga mengingatkan media agar berhati-hati dalam pemberitaan, jangan sampai framing yang dibuat justru memperkeruh suasana.

“Tidak ada yang diuntungkan dari konflik antara masyarakat dan aparat. Yang ada hanyalah luka sosial, hilangnya kepercayaan, dan hancurnya citra bangsa. Persatuan Indonesia terlalu berharga untuk dirusak oleh provokasi sesaat,” pungkas Asep.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *