OPINI | KLIKTIMES.ID – Adik-adikku sekalian, pemuda di pojok-pojok desa yang masih setia menjaga lumbung padi orang tua, remaja di cafe-cafe tua yang sibuk menatap layar gawai dengan kopi sachet di tangan.
Mahasiswa di kampus elit Jakarta yang sering dianggap “wakil peradaban”, hingga santri di pesantren yang setiap malam bersujud di atas tikar pandan.
Surat ini kutulis dengan tinta getir dari ladang-ladang tembakau Madura.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernahkah kalian berhenti sejenak, lalu bertanya dalam hati: dari mana asal buku-buku yang kalian baca, pena yang kalian pakai, hingga ongkos semesteran yang seringkali ditutup dengan menjual hasil panen?
Dalam setiap kertas yang kalian coret di kampus, sesungguhnya ada sehelai daun tembakau yang ikut berbicara.
Dalam setiap huruf yang kalian baca, ada peluh menetes dari dahi orang tua kita.
Negara tampil di layar televisi dengan wajah ganda. Di podium mereka bicara seolah penyelamat kesehatan publik.
Namun di meja kas negara, mereka menenggak rakus lebih dari 90% penerimaan cukai nasional yang datang dari rokok.
Madura, yang menyumbang tembakau berkualitas, tetap menyandang gelar kabupaten termiskin di Jawa Timur.
Ironi ini lebih kotor daripada tanah sawah yang retak di musim kemarau.
Mereka berdiri gagah dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, diperkuat PP No. 28 Tahun 2024. Isinya terdengar heroik: melarang rokok eceran, menghapus iklan, memaksa kemasan polos, hingga larangan jual di radius 200 meter dari sekolah.
Negara tampak gagah, seperti ksatria berpedang. Tetapi itu hanya kostum panggung. Begitu tirai ditutup, kita melihat badut yang gagal melucu.
Siapa yang diuntungkan dari parade regulasi ini? Oligarki industri rokok besar. Mereka memiliki mesin baja, modal tak terbatas, akses ke ruang kekuasaan.
Regulasi bukan ancaman bagi mereka, melainkan sekadar angka yang bisa dinegosiasikan. Jika cukai naik, mereka punya cara memindahkan beban ke konsumen.
Jika iklan dilarang, mereka menyelundupkan promosi lewat sponsor olahraga atau konser musik.
Lalu siapa yang menjadi tumbal?
Petani kecil. Produsen mikro di Madura. Mereka yang masih menyimpan daun tembakau di gudang bambu. Mereka yang hanya mampu menjual rokok ketengan di warung-warung Madura.
Mereka yang rokok lintingannya disita aparat, seolah itu bentuk bakti negara. Di hadapan yang kecil negara gagah, di hadapan yang besar negara lembek.
Inilah banci regulasi yang sesungguhnya.
Bea Cukai merasa hebat dengan membakar rokok lintingan ibu-ibu kita dari kampung.
Sementara perusahaan raksasa melenggang, bahkan bisa “membeli” bahasa regulasi dengan lobi dan amplop. Oligarki menjadi raja, petani tetap budak.
Dan Madura hanya tercatat sebagai angka pendapatan negara, bukan sebagai manusia yang layak dihormati.
Adik-adikku, apa kita mau terus jadi penonton? Kita tidak bisa lagi menunggu belas kasih dari negara yang sibuk melayani oligarki. Kita tidak bisa berharap DPR yang lebih rajin menghitung amplop ketimbang penderitaan rakyat.
Sejarah tidak akan berubah hanya dengan sabar, ia hanya berubah dengan keberanian.
Karena itu, kita putra putri petani tembakau Madura harus bersatu.
Persatuan bukan sekadar kata manis, tetapi senjata terakhir. Mari kita bentuk gerakan kolektif yang lahir dari ladang-ladang tembakau bapak ibu kita.
Gerakan yang tidak hanya melawan ketidakadilan, tetapi juga membangun kekuatan ekonomi-politik sendiri.
Jika daun tembakau kita selama ini hanya menjadi bahan bakar mesin negara, sekarang saatnya ia menjadi bahan bakar perjuangan kita.
Jangan remehkan diri kita sendiri. Generasi muda Madura bukan hanya pewaris daun kering, tetapi pewaris harga diri.
Tugas kita bukan sekadar menjaga tradisi, melainkan mengubah nasib. Dari Sumenep ke Bangkalan, dari Pamekasan ke Sampang, suara kita harus bergema: Cukup Sudah Petani Jadi Tumbal.
Mari menulis sejarah baru dengan tinta dari keringat sendiri. Kita harus hadir di jalanan, di forum akademik, di media sosial, di ruang politik, di pasar, bahkan di masjid dan pesantren.
Di setiap ruang kita harus bersuara: Tembakau Adalah Martabat, Bukan Kutukan dan Petani Bukan Budak Regulasi, Melainkan Pilar Bangsa.
Adik-adikku, bila kita terus diam, sejak Indonesia merdeka sampai tulisan ini saya buat, anak cucu kita hanya akan mewarisi kemiskinan yang sama.
Tapi bila kita bangkit, maka generasi berikutnya akan mewarisi harga diri.
Bersatulah, wahai putra-putri petani tembakau. Waktu kita bukan besok, tapi sekarang.
***
**) Opini Ditulis oleh Fauzi AS, Pengamat Kebijakan Publik
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.