OPINI | KLIKTIMES.ID – Tulisan kedua ini, saya kembali menguji nyali Nur Faizin, anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB, yang belakangan cukup santer tampil di panggung wacana politik dengan isu rokok ilegal di Madura.
Suara Nur Faizin sempat terdengar lantang bahkan menggelegar. Namun belakangan, gema itu terasa makin meredup. Dari yang semula keras dan berapi-api, kini lebih mirip bara yang tertiup angin.
Fenomena ini wajar. Sebab panggung politik Jawa Timur memang tiba-tiba riuh setelah Nur Faizin melontarkan kritik tentang maraknya rokok ilegal di Madura. Katanya, negara rugi triliunan rupiah, pasar jadi kacau, dan pengusaha legal didzolimi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekilas, suaranya heroik. Tegas. Penuh semangat kebangsaan. Tapi kalau ditelisik lebih dalam, apa yang disuarakan Nur Faizin tak lebih seperti adegan dalam film Dilan. Tahu kan kalimat legendaris itu?
“Jangan rindu. Berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja.”
Nah, di sini Nur Faizin tampil sebagai “Dilan politik”: gemar melempar kalimat manis, penuh dramatisasi, tapi minim solusi. Ia tahu kata-katanya laris dipetik media, dishare di WhatsApp grup, disebar netizen, lalu menuai tepuk tangan sesaat. Tapi, seperti film remaja yang penuh gombalan, semua itu cepat layu begitu kenyataan ekonomi rakyat menampar.
Mari kita jujur. Rokok ilegal di Madura bukanlah isu baru. Ia bagian dari sejarah panjang industri kretek rumahan. Dari ladang tembakau rakyat, dari dapur-dapur kecil yang melinting rokok sekadar untuk menyambung hidup. Negara boleh saja menyebutnya ilegal, tapi bagi rakyat, ia justru penyambung nyawa.
Kalau benar Nur Faizin mau bicara lantang soal “wibawa negara”, seharusnya ia juga bicara lantang soal harga tembakau yang jatuh setiap panen, soal pabrik besar yang seenaknya menentukan kualitas, atau soal cukai yang makin mencekik rakyat kecil. Sayangnya, yang terdengar justru jargon textbook: ‘negara rugi, persaingan usaha tak sehat”.
Mengutip Bambang Wuryanto, Politisi senior PDIP pernah berkata: “Politik itu bukan sekadar bunyi. Politik itu keberpihakan.” Kalimat ini seharusnya jadi pengingat. Sebab yang dibutuhkan Madura bukan sekadar bunyi lantang, tapi keberanian berpihak.
Di titik ini, Nur Faizin persis Dilan saat berkelahi. Gayanya jagoan, banyak bicara. Tapi kalau ditarik ke konteks politik, itu tak lebih dari romantisme. Tidak ada strategi besar. Tidak ada analisis ekonomi yang utuh. Hanya kalimat manis untuk mengundang simpati.
Padahal, rokok ilegal tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir dari kebijakan cukai yang terlalu tinggi, dari lemahnya akses permodalan, dari pasar yang dikuasai korporasi besar. Ekonom Faisal Basri sudah lama mengingatkan: “Pungutan yang terlalu tinggi hanya akan melahirkan pasar gelap.” Logikanya sederhana. Tapi mengapa Nur Faizin tak pernah membicarakan itu?
Apakah karena isu itu tidak seksi untuk headline atau karena terlalu “berat” untuk ditanggung di panggung politik?
Di sinilah terlihat betapa minimnya kepekaan Nur Faizin terhadap denyut nadi Madura. Ia cepat bicara soal “wibawa negara”, tapi lambat mendengar jeritan rakyat. Ia pandai merangkai kata, tapi miskin empati pada petani tembakau yang terjepit.
Dan hari ini, suaranya bahkan mulai meredup seperti ada aroma kepentingan yang menyeruak dari balik retorika yang ia gaungkan.
Kalau politisi hanya sibuk dengan jargon tanpa mau menyentuh akar persoalan, maka yang ia lakukan hanyalah gombalan politik. Sama seperti Dilan yang bilang “rindu itu berat”, semua terdengar indah di telinga, tapi tak mengubah apa-apa dalam realitas.
Madura tidak butuh gombalan. Ia butuh keberanian politik yang konkret: melawan kebijakan cukai yang dirasa kurang adil, memperjuangkan harga tembakau yang layak, melindungi industri kretek rumahan dari dominasi korporasi.
Kalau Nur Faizin serius, buktikan dengan kerja politik yang nyata. Kalau benar peduli, suarakan keberpihakan, jangan hanya lihai flexing di panggung media sosial.
Sebab kalau tidak, ia hanya akan dikenang sebagai “Dilan politik”: lihai merangkai kata, tapi kehilangan taji ketika harus berhadapan dengan kenyataan.
Dan rakyat Madura, dengan senyum miris, akan berkata:
“Mas Nur Faizin, jangan banyak janji. Berat. Kamu nggak akan kuat. Biar rakyat saja yang menanggungnya.”
Pada akhirnya, politik bukan soal bunyi yang nyaring atau gombalan yang manis. Politik adalah keberpihakan yang nyata, seperti dikatakan Adi Prayitno, pengamat politik: “Alaa Kulli Haal, kepentingan rakyat di atas segala-galanya.”
Kalimat itu seharusnya menjadi kompas moral, agar setiap politisi yang bersuara lantang tidak sekadar tampil heroik di panggung media, tapi benar-benar hadir di tengah rakyat yang hari-harinya kian berat.
***
**) Opini Ditulis oleh M. Faizi, Pegiat Media
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.