OPINI | KLIKTIMES.ID – Kritik ini lahir dari tanah kering, ladang tandus, dan bumi tambakau yang aromanya kerap lebih menghipnotis hidung oligarki daripada menyelamatkan perut rakyat. Dari Sumenep, ujung pulau Madura, saya menulis dengan tinta kemarahan dan ludah rakyat kecil yang sudah kering karena terlalu sering ditelan janji.
Di sini, di kota kecil yang katanya ramah ulama dan santun budayanya, banyak polisi kehilangan empati. Saya sebut “oknum”? Ah, terlalu sopan. Namanya sudah penuh sesak dalam catatan harian rakyat yang bosan melihat seragam dipakai seperti mantel kebal hukum.
Pada catatan sebelumnya, saya menulis tentang seorang Korkab BSPS yang mengaku diminta setoran Rp250 juta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah itu, ada pekerja proyek yang dipaksa membayar Rp303 juta. Lalu ada kepala desa yang terpaksa menjual mobil satu-satunya agar bisa menutup “biaya koordinasi”.
Semua itu hanyalah asap dari api besar yang menyala di balik meja-meja berbau tipikor. Asapnya sesekali terlihat, tapi apinya bisa membakar siapa saja yang mencoba meniupnya.
Dan kini, ketika nelayan menangis karena tak sanggup membeli solar, ketika petani mengeluh modal habis terbakar cuaca, ketika rakyat kecil bertahan dengan beras oplosan, justru miliaran rupiah uang rakyat diusulkan untuk mendandani Polres Sumenep.
Ada anggaran rumah dinas Kapolres, ada taman cantik untuk bersantai, ada interior mentereng untuk ruang Satreskrim. Rasanya seperti menonton pesta dansa di atas kuburan rakyat lapar.
Pertanyaan sederhana muncul: ada apa gerangan sehingga pemerintah daerah begitu dermawan menyodorkan kue anggaran ke Polres?
Apakah ada anggaran pesanan?
Apakah ada tekanan dari aparat?
Atau sekadar rasa takut yang mencekik leher birokrat daerah?
Mari kita hitung bersama: pembangunan kantin Polres lanjutan Rp499 juta, pengadaan meubelair kantin Rp300 juta.
Wah, Pemda memang hebat. Kalau giliran rakyat, katanya harus efisiensi, penghematan, dan rasionalisasi. Tapi kalau fasilitas aparat, uang negara mengalir deras seperti air bah.
Belum selesai. Ada lagi pengadaan interior rumah dinas Kapolres Rp199 juta. Interior Satreskrim Rp200 juta. Pembangunan taman Satreskrim Rp150 juta.
Rakyat? Silakan menonton dari pinggir jalan. Bagi saya, rencana anggaran 2026 ini bukan sekadar kebijakan, tapi penghinaan. Penghinaan terhadap logika, terhadap empati, dan terhadap janji-janji yang sudah lama basi.
Bantuan rumah rakyat dikorupsi, sementara rumah pejabat didandani.
Hebatnya lagi, bukan hanya di kota Sumenep.
Ada pula pembangunan gedung SPPG Polri senilai Rp1,7 miliar di Kecamatan Ambunten, lalu Rp1,6 miliar di Kecamatan Arjasa.
Pertanyaannya: mengapa hanya Polri yang mendapat hadiah, sementara TNI tidak? Apakah fungsi keamanan hanya dimiliki oleh satu seragam saja? Atau ini sekadar proyek bancakan yang dijual atas nama stabilitas?
Di sini, rakyat kecil semakin yakin bahwa janji reformasi Polri hanyalah gincu. Janjimu, Kapolri, hanyalah etalase yang dipoles rapi untuk pameran, sementara di gudang belakang masih penuh dengan karung-karung busuk.
Polisi katanya pelindung dan pengayom, tapi di Madura yang mereka lindungi adalah proyek dan yang mereka ayomi adalah kantong sendiri.
Rakyat sudah terlalu sering ditenangkan dengan jargon: “Polri Presisi.” Padahal yang presisi hanyalah kalkulasi bagi-bagi proyek.
Presisi untuk mengukur berapa banyak anggaran bisa dialihkan, presisi untuk menimbang siapa yang dapat jatah, dan presisi dalam mengatur senyapnya penyidikan kasus besar.
Di tanah kering ini, rakyat hanya ingin keadilan sederhana: solar murah untuk nelayan, modal untuk petani, atap rumah tak bocor, dan sekolah gratis untuk anak-anak. Tapi yang mereka dapat justru taman Polres Rp150 juta. Betapa indahnya duduk di taman itu sambil mendengar rintihan rakyat di luar pagar.
Maka, wajar bila rakyat bertanya: Pak Kapolri, janji yang dulu kau ucapkan di depan publik, di hadapan Presiden, di tengah sorotan kamera ke mana?
Apakah janji itu sudah dipalsukan di meja anggaran, digadaikan di ruang rapat, dan dibuang ke tong sampah bersama moralitas oknum aparatmu?
Sejarah Madura adalah sejarah perlawanan. Dari pemberontakan melawan kolonial hingga melawan kesewenang-wenangan modern.
Jangan pernah kira rakyat tak bisa marah. Mereka diam bukan berarti kalah. Mereka diam karena sedang menabung kemarahan, menunggu saat yang tepat untuk bertanya dengan lantang: “Mana janji Kapolri?”
Dan ketika saat itu tiba, tak ada taman, tak ada rumah dinas, tak ada interior mewah yang bisa melindungi seragammu dari gelombang suara rakyat.
Karena janji palsu tak pernah bisa dipoles dengan cat tembok atau kursi baru. Janji palsu hanya bisa ditebus dengan keberanian menegakkan keadilan, atau digilas oleh sejarah yang tidak pernah melupakan pengkhianatan.
***
**) Opini Ditulis oleh Fauzi AS, Pengamat Kebijakan Publik
**) Tulisan Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab media klik Times.id
**) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
**) Artikel Dikirim ke email resmi redaksikliktimes@gmail.com.
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirimkan apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Klik Times.id.